Sabtu, 21 April 2018

Tahun Lalu

Di tanggal yang sama. Di tahun yang berbeda, tahun lalu.

Mungkin itu kali terakhir kita bertemu sebagai dua sejoli dengan warna yang pernah serupa, sebagai dua sejoli dengan rasa yang pernah sama.

Mungkin itu kali terakhir kita bisa saling mengeluh. Aku mengeluhkan takdir yang hanya ingin mencandaiku. Kamu mengeluhkan takdir yang selalu mengerjaimu. Membuangmu jauh ke ujung dunia.

Mungkin itu kali terakhir kita bisa saling melepas kesah. Aku padamu. Kamu padaku. Kita. Berdua.

Mungkin itu adalah kali terakhir kita tertawa bersama. Menertawakan perjuangan yang acap dianggap sebelah mata. Menertawakan jarak yang selalu memuai. Atau menertawakan roda takdir yang selalu memilih berada di pihak oposisi.

Mungkin itu kali terakhir kita bersua sebagai dua sejoli yang pernah saling terikat.

Tapi aku dan kamu berbeda. Kamu datang untuk membersihkan sisa temali yang masih menempel pada relung hatiku. Agar kelak saat kamu pergi, serpihan itu tak menggangguku.

Sedang aku? Aku justru berusaha mencari serpihan temali yang telah lebur bersama angin dan merangkainya kembali.

Mungkin itu kali terakhir kita bisa bertukar kabar. Dan membicarakan rasa yang tak lagi ada.

Masihkah kamu cinta padaku?
Mungkin, tidak, katamu.

Minggu, 17 Desember 2017

Akhir

Time flies.

Waktu seolah terbang. Terbang dengan amat cepatnya. Bagai elang di antara burung-burung, bagai cahaya di antara  molekul. Hingga tanpa  sadar kini aku telah berada di penghujung tahun. Di penghujung yang sama dengan tahun lalu.

Namun...

Setidaknya penghujung tahun lalu masih menyisakan setitik harapan. Segulir mimpi yang seharusnya diwujudkan di tahun ini. Angan, cita-cita, perjuangan, kepercayaan, dan cinta.

Tapi rupanya takdir berkata lain. Yang ada hanyalah kisah tentang keputusasaan: khianat, ditinggalkan, dan luluh lantak. Asa yang dibangun dengan susah payah, harapan yang terus dijaga dalam badai, dan mimpi yang terus digenggam erat. Semua musnah dalam hitungan pendek tak berbilang.

Terkadang aku bertanya pada-Nya. Apa salahku? Pantaskah aku menerima semua ini? Di antara milyaran perempuan lain, mengapa harus aku?

Menyusun kembali puing-puing yang runtuh. Lalu kembali runtuh. Menyusun kembali reruntuhan yang telah runtuh. Lalu kembali runtuh. Berusaha membangun reruntuhan yang kembali runtuh. Lalu runtuh lagi. Hingga pada akhirnya jiwa ini tak sanggup lagi untuk menyusunnya.

Lalu beberapa yang datang mengetuk, tak lagi dapat kurasakan ketukannya. Ia yang mengetuk perlahan. Dia yang mengetuk paksa. Ia yang membuka lebar-lebar. Ia yang datang begitu saja. Tak terasa.

Apa yang salah? Apakah jiwa ini sudah mati?

Senin, 17 Juli 2017

Entah

Aku bahkan tak tahu alasan mengapa aku harus bersedih.
Tapi kenyataannya, aku sedih.
Amat sedih.

Aku juga tak tahu mengapa aku harus menangis.
Tapi entah bagaimana,
Aku menangis.

Aku ingin hidup yang biasa-biasa aja, kataku padamu. Aku tak ingin dirundung kesedihan teramat, lagi, dan lagi.

Tapi katamu, kebahagiaan besar akan datang setelah kesedihan yang teramat. Hanya masalah waktu hingga saat itu tiba

Tapi, sayangku. Bukankah hidup yang biasa-biasa saja akan jauh lebih mudah daripada hidup penuh kebahagiaan yang didahului kesedihan teramat?

Katamu, kita tak bisa memilih jalur yang kita inginkan. Jalur itu, lanjutmu, telah diukir pada awal waktu.

16.07.2017

Minggu, 25 September 2016

Perpisahan

Bukankah perpisahan tak pernah indah, sesempurna apapun direncanakan? Karena perpisahan adalah perpisahan. Selalu ada kesedihan yang merayap, segempita apapun helatan mengudara.

Tapi setidaknya, perpisahan denganmu, aku ingin menjalaninya dengan syahdu. Tanpa perlu terisak tertahan. Atau tercekat pedih menahan anak lambung yang hendak melompat keluar. Sesekali, tak apa dihiasi dengan air mata. Asal kau ada di hadapanku, menghibur.

Setidaknya, perpisahan denganmu, aku berharap akan sedikit lebih indah. Sedikit diwarnai pelangi, kalau aku boleh meminta. Dengan sepucuk es krim yang lezat, atau semangkuk bakso hangat. Kita duduk berdua, sembari mengenang perjumpaan pertama, hari-hari bahagia, juga hari-hari nestapa.

Perpisahan denganmu, kupikir, seharusnya lebih bermelodi. Bukan kesunyian menganga karena kebisuanmu, atau ketakutanku untuk sekadar bertanya. Aku benci keheningan ketika kau tak kuasa menyanyikan kisahmu. Dan aku benci ketidakmampuanku untuk sekadar memetik nada.

Perpisahan denganmu, kurasa, seharusnya tak usah terjadi. Kau tak perlu pergi. Dan aku tak perlu mengucapkan selamat jalan. Aku juga tak perlu mengucapkan selamat tinggal pada kenangan.

Tapi, bukankah aku tak kuasa menolak rencana Tuhan? Pun dirimu. Kau tak pernah merencanakan perhelatan ini. Pun aku tak pernah, sekalipun dalam pikirmu, akan menjadi tamu undanganmu.

Mungkin, keindahan tersembunyi di balik kesedihan. Mungkin, hanya ada benang tipis yang membatasi duka, lara, dan cita.

Yogyakarta, 6 Juli 2016
Untuk kamu

Sabtu, 24 September 2016

Padahal Kusangka

Bulir-bulir itu masih ingin menyeruak.
Tak terkedali kala aku mendapati bayangmu di ujung hari.
Ia memaksa di ujung pelupuk,
tak ingin berkompromi.
Sendu.
Rindu.

Pada diriku, aku bertanya.
Salah siapakah ini?
Nurani.
Naluri.
Nalar.
Jarak yang membelenggu.
Ataukah sejak awal kita telah memanggul sebuah dosa kala bersama.

Sendu yang sama.
Warna kelabu yang sama.
Apakah aku tak pantas menjadi tokoh utama dalam sebuah drama berakhir bahagia?

Padahal,
kusangka,
kamu adalah penawar terakhir atas luka menganga yang ditorehnya.

Padahal,
kusangka,
Denganmu aku akan kembali menuliskan dongeng kanak-kanak yang indah.

Padahal,
kusangka,
tidak akan ada torehan kedua.

Sabtu, 07 Maret 2015

Rumor

Sejak dulu, membayangkan bagaimana menjadi orang dewasa selalu membuat pikiran saya campur aduk. Enggan karena konon menjadi orang dewasa tak semenyenangkan apa yang terlihat. Enggan karena menjadi dewasa mungkin akan kehilangan semangat dan keceriaan khas kanak-kanak. Enggan karena saya harus bertanggung jawab secara penuh untuk setiap hal yang saya perbuat. 

Minggu, 11 Januari 2015

Bersahabat dengan Alam

Pergi ke lokasi wisata alam kini menjadi trend dan tradisi tersendiri. Lihatlah ketika akhir pekan datang. Lokasi-lokasi wisata alam pasti penuh dijubeli pengunjung. Ini berbeda dengan 10 hingga 15 tahun yang lalu. Atau setidaknya, berbeda dengan apa yang ada di ingatan saya waktu itu.

Wisata alam pertama yang saya ingat adalah ketika saya, bapak, dan adik pergi ke kali Kuning, sebuah sungai yang masih asri di bilangan kaki Gunung Merapi. Saat itu, kira-kira ketika saya masih duduk di bangku kelas dua SD, Kali Kuning tidaklah populer, berbeda dengan saudara sepersusuannya, Kali Urang. Anehnya, ketika keluarga lain lebih suka pergi ke taman wisata Kali Urang, saya dan adik jstru lebih suka menjelajahi seluk beluk Kali Kuning.

Berenang hanya dengan mengenakan kaos dalam dan celana dalam--benar-benar seperti anak liar, menyusuri tepian sungai hingga menemukan sumber mata air, memasukkan bekal minum dan buah ke dalam air yang dingin, hingga menyeberangi bukit tembusan ke taman wisata Kali Urang.

Saat itu, hanya kami bertiga yang ada di lokasi itu. Sesekali ada seorang penjual yang lewat. Ah ya, ada juga bapak-bapak penjaga parkir yang posnya nun jauh di sana. Beberapa tahun kemudian, ketika kami kembali menyambangi Kali Kuning untuk yang ke sekian kalinya, baru lah kami menjumpai keluarga lain: seorang ibu dan dua anak lelakinya. Merekalah yang membuat saya enggan melepas pakaian untuk mendi di sungai.

Mungkin eksklusifitas itulah yang membuat saya agak kurang sreg berada di tempat wisata yang terlalu ramai. Saya merasa kurang bebas untuk menjamah titik-titik indah di lokasi tersebut. Ini sangat berbeda dengan beberapa teman saya yang justru suka jika mengunjungi tempat wisata yang ramai.

Sebenarnya, sebelum dikenalkan pada Kali Kuning, saya terlebih dahulu telah mengenal Kyai Langgeng atau Gembira Loka. Tapi tetap saja, pesona kealamian Kali Kuning kala itu benar-benar merasuki jiwa hingga saya tak pernah melupakannya.

Saya bersyukur karena Bapak telah mengajarkan untuk berteman dan mencintai alam sejak kecil. Tak perlu takut, cemas, atau bingung saat berada dalam dekapannya. Ia tak menyakiti, justry melindungi :)

Ah ya, beberapa minggu yang lalu saya dan keluarga sempat mengunjungi Ketep, Umbul Ponggok, Pantai Glagah, juga Pantai Klayar dan Goa Gong di Pacitan. Tapi tetap saja, selama di perjalanan, kami justru mengenang Kali Kuning. Apa kabar ia sekarang?