Rabu, 17 Juli 2013

Kejujuran Anak-Anak

Bicara tentang kejujuran, oramg dewasa itu adalah makhluk yang paling nggak jujur. Terutama soal perasaan. Yang aslinya suka tapi pura-pura biasa, atau yang aslinya kesal setengah mati tapi pura-pura simpati. Ah, orang dewasa.

Kemana perginya kejujuran sewaktu kita masih kanak-kanak? Padahal sewaktu anak-anak kita selalu jujur. Ya, mungkin karena nggak ada beban perasaan. Kalau enak bilang enak, kalau nggak enak berusaha diam. Kalau cantik bilang cantik, kalau jelek diam saja.

Ngomong-ngomong tentang kejujuran anak-anak, tadi di kantor ada mbak-mbak yang anaknya mampir ke kantor setelah pulang sekolah.

Para ibu dan bapak rekan kerja si embak tadi iseng-iseng bertanya tentang makanan kepada si anak.

"Puasa enggak?"
puasa doong
"Padahal kemarin ke sini bawa es, hahahaha"

"trus di rumah biasanya siapa yang masak?"
Simbah..
"eh itu ibu tau yang masak..." (ibu)
Bukaan.. Yang masak kan mbah uti
"kan kamu belum bangun waktu ibu masak" (ibu)
Enggak, mbah uti kook...

"Trus biasanya kalau makan pakai apa?"
Em.. Kadang indomi..
Sama telor..
"hahaha, indomi... (ibunya)

"Trus tadi malem tarawih nggak?"
Kalau tadi malem enggak. Ibu juga enggak
"nggak sama ayah tarawih di masjid?" (ibu)
Ayah kan tadi malam nggak tarawih
"mosok?" (ibu)
Orang ayah di solo kook

"hahaha.. Hayo, ayah yang mana dulu yang taraweh. Ayah yang satu kan di solo" (rekan-rekan kerja)

Yah lucu juga sih mendengarkan kejujuran anak-anak :D mereka nggak peduli dengan rasa jaim atau apapun, pokoknya jawab dengan jujur. Coba orang dewasa, pasti ada seribu satu cara untuk menyembunyikan fakta yang kurang sedap. Mungkin itu dengan kaimat bersayap, atau dengan kebohongan.

Yah, semoga saja aku bisa terus menjaga kejujuran hingga nanti usia memakan ragaku.

Ngomong-ngomong tentang anak, gara-gara habis mbaca postingan tumblr salah satu temen, aku jadi pengen deh menikah muda. Mungkin 24 atau... 24 kali yaa.  Bener juga sih kata temennya si temen. Setidaknya usia-usia segitu kemungkinan masih menjadi pelaksana. Belum terlalu sibuk dan masih bisa memberi perhatian pada keluarga terutama anak. Setelah itu, bisa lah merintis karir atau melanjutkan sekolah. Kalau sibuk pun, anak sudah memasuki usia yang cukup matang.

Coba semisal menikah ketika karir sudah menanjak bagus, ah pasti si anak yang masih batita itu bakal kesepian di rumah. Tapi ya, yang lebih ideal lagi menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, sambil berkarir dari rumah :D

Dan kalau besok benar-benar menjadi seorang ibu, semoga bisa merawat anak dengan baik. Paling tidak, sholat berjamaah, memasak untuknya, dan bukan indomi :)

Kamis, 11 Juli 2013

midnight

malam telah mendaki jalurnya, tak lama lagi ia akan mencapai puncak. Hanya tinggal menunggu detik masa hingga sepuluh tergantikan oleh sebelas. Ya, meski begitu mataku masih saja membandel enggan beristirahat.
Kucoba memejamkan mata. Tetapi kemudian sekelebat bayang-bayang muncul dalam kepalaku. Dan sialnya, bayangan itu mengaktifkan kembali neuron-neuron dalam otakku. Berpikir dan terus berpikir. Jadilah si mata enggan terpejam meski sedari tadi telah kupaksa ia dengan sejuta cara.

Salah siapa? Kau mata, kau otak, atau kau aku?
Ah sudahlah.

Bicara tentang otak, kadang pekerjaan yang statis dapat membuat otak kita mati. Dan itu bukan hanya teori, tetapi fakta. Parkinson misalnya, penyakit yang menyerang syaraf di kepala itu kebanyakan menyerang mereka yang melakukan hal sama secara terus menerus.

Tahu tentang Mohammad Ali? Ya. Muhammad Ali adalah nama baru  Cassius Marcellus Clay setelah ia memeluk agama Islam. Tahukah bahwa ia divonis terkena Parkinson? Menurut artikel yang pernah kubaca, gal itu disebabkan karena ia melakukan gerakan tinju yang sama secara berulang-ulang selama bertahun-tahun. Meski ada berbagai variasi gerakan, namun secara umum gerakannya itu-itu saja.

Parkinson juga dapat menyerang para pemain musik semisal pianis atau pemain biola. Karena meski nada yang dimainkan berbeda, namun gerakannya serupa. Dan mungkin Parkinson juga bisa menyerang para akuntan yang menjadi penulis karena jari-jari mereka selalu bekerja dengan komputer. (Baiklah, aku mau jadi ibu rumah tangga sama penulis saja deh biar nggak Parkinson :p)

Menyoal otak dan pekerjaan, ternyata menjadi pegawai negeri pun tak selamanya bagus untuk otak.
Kemarin, seorang Bapak di seksi vera bercerita. Katanya, ia sudah jenuh dengan pekerjaannya dan menginginkan ketengangan.

"kalau bekerja menjadi pegawai, lama-lama otak bisa mati." kata si Bapak.

Sontak saya dan tiga teman lain di ruangan itu bertanya ,"kenapa Pak? Kok bisa?"

"Karena kita hanya sebagai pelaksana kebijakan. Apapun mau orang yang di atas, kita harus melasanakan. Meski terkadang kebijakan itu aneh atau bagaimana."

Sebagai pegawai kita memang selalu dituntut untuk patuh pada kebijakan yang dibuat oleh orang atas. Dan menurut analisaku yang baru tiga tahun merasakan kuliah di sekolah kedinasan, kepatuhan itulah yang membuat kreatifitas otak kita mati. Bagaimana tidak, karena kita memang dibayar untuk patuh.

"Mau tidak mau, kita tetap harus patuh dan melaksanakannya. Meski terkadang kebijakan itu tidak sesuai hati nurani." lanjut si bapak. Ia kemudian mendesah. Sedang kami berempat masih asik dengan koreksi laporan keuangan sakter. "Kalau tidak mau otaknya mati, ya, harus ada sampingan di luar." lanjut si Bapak.

"Misalnya, semacam bisnis, begitu Pak?" tanyaku.

"Iya. Bisnis atau apa.. Setidaknya pikiran kita tetap berjalan. Karena pekerjaan di sini ya itu-itu saja. Statis"

Benar juga kata si bapak. Hari pertama PKL, di seksi pencairan dana, semangat yang tinggi membuncah di dalam dada. Ada rasa tertarik ketika menjalani aktivitas yang selalu hidup di seksi ini. Selalu ada pekerjaan dan tugas yang dilakukan.

Menginjak hari kedua ketiga rasa bosan mulai datang. "Ah, kok ini-ini saja pekerjaanya?" Ingin pekerjaan yang lain tapi sungkan meminta, karena memang tugas itu yang diberikan pada kami dan tidak habis-habis. Lagian, siapa aku? Padahal baru beberapa hari di sekai itu. Dan menurut ketentuan, kami akan di-rolling seminggu sekali. Bagaimana dengan para pegawai yang dirolling dua atau tiga tahun sekali? Pantas si Bapak bilang ia ingin pindah ke seksi lain.

Rolling dan mutasi memang tidak hanya sebatas upaya untuk meminimalisasi KKN di lingkungan kerja. Lebih dari itu. Rolling juga bermanfaat untuk menghidupkan kembali kepekaan sosial dan juga kepekaan pikiran kita. Jangan sampai, suatu saat nanti pikiran mati karena melakukan pekerjaan yang itu-itu saja. Apalagi sampai terkena parkinson, duh!

Oh iya, selamat tidur untukmu yang berada di kota pahlawan:)
Semoga peri mimpi mendatangi malammu dan memberi sebuah kantung berisi mimpi indah.