Jumat, 11 Oktober 2013

Judisium dan Kesyukuran

ibu...
akhirnya aku tiba di penghujung kisah ini. Hari ini aku mengikuti prosesi Judisium Mahasiswa Bidang Akuntan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Tahukah ibu tentang Judisium? Ya, Ibu, prosesi itu adalah upacara sakral yang menunjukkan bahwa aku telah menamatkan pendidikan di tempat ini. Kalau kata Pak Kusamanadji, sang Direktur STAN, Judisium adalah hari dimana alma atau ibu telah melepaskan anak-anak yang telah dididik dan dibesarkannya. Ibu, hari ini, aku bersama 372 mahasiswa bidang akuntan, dinyatakan telah lulus dari STAN.

Oh ibu. Aku tidak pernah menyangka hari ini akan tiba. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana keindahan dan kebahagiaan karena berhasil melalui hari ini. Ibu, banyak kawan-kawanku yang tumbang di tengah jalan. Mereka gugur saat sedang berjuang mencapai titik ini. Beberapa malah sengaja menggugurkan diri dan terbang pergi ke tempat lain, menuju tempat yang mereka inginkan.

Ibu, waktu berlari sangat cepat hingga tanpa sadar ia telah membawaku menapaki titik ini. Jujur, Ibu, aku tidak pernah menyangka jika suatu hari aku akan menyelesaikan pendidikan di kampus yang tidak pernah aku impikan ini. Aku tidak pernah bermimpi aku akan meraih gelar pertamaku di kampus plat merah ini, di kampus yang kata orang adalah kampus impian. Aku tidak pernah membayangkan aku akan dapat menyelesaikan perkuliahan di tempat yang sebelumnya tidak pernah kuinginkan. Tapi, mungkin memang inilah jalan terbaik yang dihadiahkan oleh Tuhan.

Ampun Ibu, anakmu ini memang anak yang tidak tahu caranya bersyukur. Aku tahu ibu, banyak orang yang ingin mengenyam pendidikan di kampus ini. Kampus ini memang menjanjikan. Ya, seperti yang dipercaya banyak orang, biaya pendidikan gratis dan akan ditempatkan di Kementerian Keuangan. Setiap tahun, puluhan bahkan ratusan ribu pelajar mendaftar agar dapat mengenyam pendidikan di kampus ini. Entah apa motivasi mereka, ingin penghasilan yang layak seperti kata orang, ingin meringankan beban orang tua, ataukah hanya karena dititahkan orang tua, sama seperti aku.

Oh ibu, mungkin anakmu ini memang tidak tahu caranya bersyukur. Anakmu ini sudah mengeyam pendidikan layak tanpa dipungut biaya pendidkan yang bisa mencekik leher. Anakmu ini juga menikmati segala fasilitas yang diberikan kampus: literatur perkuliahan, gedung dan ruang kuliah yang nyaman, internet, kuliah umum, para pengajar yang profesional dan berpengalaman, juga uang saku selama tingkat tiga. Tapi anakmu ini tak pernah mau mengubah hatinya. Anakmu ini belum juga mau jatuh cinta pada almamater yang telah membesarkannya. Anakmu malah menganggap bahwa lingkungannya malah mengungkung keliaran imajinasinya. Ah, tentu saja. Imajinasi liar anakmu tak akan bisa terbang bebas di tempat ini, Ibu. Anakmu ingin menjadi seorang ilmuan, bukan akuntan.

Ibu. Bukan berarti aku tidak suka pada almamaterku ini. Aku tidak benci padanya, hanya saja aku tidak pernah jatuh cinta padanya. Pernah, sekali aku tertarik padanya. Ya, hanya sekali, Ibu. Saat itu adalah saat aku mengikuti Dinamika, masa orientasi di kampus itu Bu.

Oh ibu...
Anakmu ini memang tidak tahu cara bersyukur. Anakmu selalu memperoleh IP cumlaude, selalu termasuk jajaran atas di kelasnya. Bahkan, saat Judisium anakmu ini masuk dalam jajaran 20 besar dalam satu spesialisasi. Kata teman-teman, peringkat 15. Ya ibu, aku memperoleh posisi ke-15 dengan predikat terpuji, di kampus impian banyak orang ini. Namun hanya secuil senyum yang kupersembahkan ketika tepuk tangan bergemuruh dalam ruangan. Secuil, Bu. Secuil. Hatiku? Hanya aku dan Tuhan yang tahu, Bu.

Iya, Ibu. Seharusnya aku adalah orang yang paing berayukur. Aku dapat menempuh pendidikan di kampus idaman, tanpa biaya. Aku selalu memperoleh indeks prestasi terpuji. Dan berkat doamu yang tiada henti, aku juga dapat lulus dari kampus ini dengan predikat terpuji. Dan berkat restumu juga, aku termasuk dalam jajaran dua puluh besar diantara 300an mahasiswa.

"Dan nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?"

Terlalu banyak nikmat Tuhan yang tidak aku ayukuri. Selama ini aku hanya sebatas syukur di bibir, tidak setulus hati. Betapa merugi anakmu ini, Ibu.

Oh Ibu...
Semoga aku bisa mencintai pekerjaanku kelak. Seperti seorang istri yang mencintai suaminya tanpa cela, seperti apapun keadannya.