Sabtu, 25 Oktober 2014

Pain


I always think that what happened to us, that what he have done to me, is something usual. Other people have some problem. Betrayal, ignorance, suspicion. It all come to a relationship.

But now, i realized. It different.

That time, i felt It very, very, hurts. Deeply hurts. Still, i thought time and space will erase it. I let my mind flew with the wind, flew beneath time. Thought time will kindly erase it.

First year, it still hurts. So many memory: happiness, pain, love, sadness.

Second year. The pain has gone. But the memory still there, the bad one and the good one.

Third year. The pain recovered perfectly. The good memory has gone, forever. Even his face, voice, touch. But It still there.  The bad memory. It never disappear.

Have my heart wicked? 

I pray to The God.  God, please spread them with happiness. Don't you give them something that they couldn't fight, like mine. I pray for their love. Hope it will last forever. Not like mine. I let them happy. 

At first, I feel happy for them. Or, maybe, i just pretend to. 

Have my heart wicked? 
Beneath the prayer, i want to curse them. 
Beneath the happy face, the pain is still tapping. 

Jumat, 17 Oktober 2014

Otak-otak

Edisi memanfaatkan ikan segar yang nemu di Pasar Kliwon, saya dan adik iseng-iseng buat otak-otak bandeng.

Harusnya sih dibungkus pakai kulit kembang tahu trus dikukus dan digoreng. Karena nggak nemu kulit kembang tahu dan demi pengiritan minyak, eh, mengurangi kolesterol, akhirnya kami memanggang alih-alih mengukus dan kemudian menggoreng.

Ternyata kalau dibakar aromanya lebih sedap looh. Sayangnya teksturnya jadi nggak selembut yang dikukus. Kalau saya dan adik sih lebih suka yang dikukus :3

Homemade Meatball Part 2

Bisa membuat baso sendiri adalah mimpi saya sejak lama. Lha wong pencinta bakso, masak ga bisa bikin bakso sendiri.

Nah, berhubung momen yang tepat tiba-tiba datang, akhirnya impian untuk membuat bakso sapi dari daging segar bisa direalisasikan. Horeee :D love you idul adha.

Dengan bahan daging segar yang baru saja disembelih, ternyata bakso yang dihasilkan jadi lebih "waaaah". Saya sampe bercucuran air mata waktu proses pemasukan bola-bola baso ke dalam air mendidih dan kemudian mencicipi hasilnya :"). *maklum belum profesional, harap dimaafkan*

Creme Caramel

Iseng-iseng nganggur ga jelas, akhirnya jadilah camilan ini, creme caramel (kalau Eugenie mbacanya kreme karamella)

Proses membuatnya cukup menyenangkan dan bahan-bahannya sangaaat mudah didapat. Cuma butuh susu, telur, gula, dan bahan tambahan lain seperti pinch of salt dan vanila.

Yang paling menyenangkan dari prosesnya tentu saja saat membalik mangkuk puding dan mengeluarkan si puding.  Seneeeng banget ketika melihat karamel tumpah bak lava. Soalnya si karamel ini dalam suhu normal biasanya beku dan keras, tapi ternyata setelah masuk kulkas bisa mencair gitu. Ih wao #ndeso

Yang rempong cuma proses manggangnya karena mangkuk puding harus diletakkan di nampan/loyang dan nampan itu harus diberi air mendidih dengan ketinggian setengah dari tinggi loyang. Proses itu kalau nggak salah, nama lainnya adalah au bain merie. Emm, mungkin akan lebih simple kalau menggunakan soblok ya?
Membuat camilan macam puding selalu membuat saya galau antara pengen banget dan nggak pengen. Soalnya puding kan unyu, apalagi creme caramel ini cara pembuatannya tergolong unik, bikin pengen nyoba. Tapi sayang kalau kebanyakan makan bisa bikin asupan kalori berlebih xD

Minggu, 03 Agustus 2014

Homemade Meatball

Setelah kemarin berbahagia sepanjang hari soalnya ketemu temen-temen dan silaturrahim ke rumah guru-guru SMA, hari ini kegundahan tiada tara melanda saya.

Penyebabnya cuma gara-gara ada tegangan listrik yang tak seimbang antara saya dan dia. Sepele saja. Tak perlu dicemaskan karena durasi konslet itu tak selama biasanya. *siapa juga yang mau nyemasin*
Eniwei, setelah kemarin merengek-rengek pada ibu agar dikasih sisa daging sapi untuk bahan percobaan.membuat bakso, hari ini ibu mengultimatum saya agar segera mengolah daging sapi itu. Jika tidak, ibu akan memasaknya menjadi entah apa. Ini jelas-jelas membuat saya yang hobi mager--semenjak berhenti magang di Detik--jadi terpojok.

Tak disangka-sangka, perpaduan antara kegundahan dan keadaan terdesak dapat menghasilkan energi yang menakjubkan. Dengan energi itu, saya yang pecicilan, ceroboh, dan sering gudubrakan ini berhasil membuat bakso.

Yeah, bakso! Makanan favorit sayaaaa..... ^^

Ternyata membuat bakso nggak terlalu susah lho. Tinggal giling daging sampai halus. Campur bumbu. Ratakan. Dinginkan di freezer. Dibentuk. Masukin air panas. Rebus. Masukin air es.

Sayangnya karena baru pertama kali mencoba, bakso cetakan tangan saya belum serapiBakso Ceger belakang kampus STAN yang dulu jadi favorit anak-anak, apalagi bakso mas Adam di PJMI yang dalemnya ada potongan dagingnya -__- Yeah, bakso perdana saya bentuknya nggak bulat sempurna. Beberapa bakso juga mlethek dan permukaannya nggak halus. Biar nggak malu-maluin, saya ambil yang paling rapi buat difoto :p


Soal rasa? Kata adik-adik, enak. *Sayangnya mereka hanya kenal enak dan enak banget*
Yang jelas, karena homemade, bisa dijamin kebersihan dan bahan-bahannya: bebas penyedap buatan, MSG, boraks, pengenyal, pemutih, dsb. Jadi lebih syehat, terutama buat ibu hamil dan anak-anak :3

Baiklah, selain bercita-cita jadi penjual pempek kito galo, saya juga mungkin berencana mengembangkan sayap di bidang perbaksoan. Semoga suatu saat bisa bikin yang kayak punya Mas Adam :D

Bukan kata orang

Kata orang dia dan aku seperti keenan dan kugy. Dia lihai menggoreskan kehidupan di atas sebuah kanvas. Sedang aku selalu tenggelam dalam kata dan cerita.

Dia boleh jadi Keenan. Tapi aku berharap aku bukan Kugy.

Dan kamu bukan Remi

Agar aku tidak meninggalkanmu.

Kita

Sekarang kita terpisah, berjalan di sisi yang berseberangan.

Sebenarnya aku ingin berada di sisi yang sama denganmu, tapi bukan di sisimu.

Minggu, 20 Juli 2014

Pempek Kito Galo

Seperti judulnya, sekarang saya lagi bener-bener galau. Galau apa? Enggak tau, yang penting galau ajah. Biar kaya anak muda masa kini yang bawaannya galau terus.

Oke, oke. Jujur, sebenarnya saya galau karena kepastian pelaksanaan TKD tak kunjung tiba. Sudah hampir satu tahun saya diombang-ambingkan dan di-PHP. Katanya TKD dalam waktu dekat lah, TKD sudah sangat dekat lah. *Oke mari positif thingking aja*

Hal kedua yang membuat saya tidak kalah galau, yang juga merupakan penyebab dari kegalauan pertama, adalah karena mood untuk belajar TKD tak kunjung muncul. Padahal ya, temen-temen udah pada belajar dari awal tahun 2014 lalu sejak ada pengumuman kalau TKD akan dilaksanakan dalam waktu dekat. (((((dilaksanakan dalam waktu dekat))))) Mereka kerap mendapat skor di atas 400 saat try out. Lah saya? 350 aja udah alhamdulillah.

Itu tadi dua penyebab mengapa akhir-akhir ini saya dirundung gundah gulana. Untuk masalah percintaan walaupun enggak sukses-sukses amat, bisa lah ya dikesampingkan *padahal kalau lagi berantem bawaannya nangis kejer-kejer terus*. Masalah lain seperti kantong yang cekak setelah dua bulan berhenti magang di Detik.com juga bisa dikesampingkan walaupun kadang bikin saya dirundung nestapa.

Ah iya, mengisi waktu luang ini, sementara saya masih malas belajar, iseng-iseng saya melakukan hal-hal kreatif di rumah. Mulai sari membuat gambar sketsa, nulis, masak, hingga menggergaji kayu untuk dibuat kandang kelinci.

Nah, salah satu resep yang saya jajal adalah resep pempek. Sebelumnya, saya dan ibu pernah mencoba membuatnya dan berakhir gagal total. Waktu itu, pempek buatan kami berakhir seperti cilok super lebar tanpa bentuk yang sangat sangat alot.

Sekarang, entah sumber resep yang emang TOP begete atau saya yang sudah sedikit feminin, pempek kali ini berakhir di puncak gemilang cahaya alias sukses abis. Langsung melejit ke level kampal selam tanpa melalui level lenjer. Ini dia penampakannya. Imut kan?


Soal rasa jangan ditanya. Karena pakai sari putri duyung, pempek ini rasanya, em...semacam itu deh. Hehe. Sepertinya masih harus coba lagi pakai ikan tengiri atau gabus. Kata Enci Sonya, kalau pakai ikan gabus rasanya enak dan pempeknya lebih putih.

Pokoknya udah siap lah ya kalau misalnya besok ditempatin di Palembang atau nikah sama orang Palembang :D *ups.

Jumat, 18 Juli 2014

Nugget Petaka

Selain gold, glory, dan gospel, food adalah salah satu hal lain yang bisa membawa kebahagiaan atau petaka. Akan ada kebahagiaan tatkala seseorang bersedia berbagi makanan pada mereka yang kekurangan. Ada petaka ketika segelintir orang menjadi terlalu berkuasa tanpa memikirkan orang-orang lain di bawah yang kelaparan dan didera kemiskinan.

Eniwei, ini homemade nugget pertama saya. Nggak terlalu mengecewakan bukan penampilannya? Rasanya? Beuuuh, jangan ditanya. Creamy inside, crispy outside. Adik-adik saya sampai selalu berebut mana potongan yang paling besar. Mereka bahkan menyembunyikan nugget saya untuk menggoda.

Lucunya lagi, kemarin si bungsu memutuskan untuk tidak puasa dan menggoreng nugget gara-gara kami baru bangun ketika imsya telah berkumandang. (Aku nggak yakin, ia membatalkan puasa karena kurang sahur atau karena teperdaya nugget. Soalnya kan, dia udah masuk SMP -.-)

Soal mengunggah foto makanan di instagram, sudah sejak lama saya ingin melakukannyan. Namun, selalu saja urung saya lakukan.  Meski bukan tujuan sebenarnya, entah mengapa, mengunggah foto makanan di instagram terlihat seperti sedang pamer di mata saya. Alhasil, kebanyakan fto makanan karya saya cuma mejeng di gallery pribadi, tumblr, atau blog.

salom!

Minggu, 13 Juli 2014

Lagi

Pertanda itu kembali menemuiku dan membisikkan angin busuk--teramat busuk hingga membuat hatiku seolah diperas habis sarinya--di telingaku. Aku tahu, mau tak mau, sudi tak sudi, suatu saat hari itu memang akan terjadi. Sama seperti sebelumnya.

Kurasa sari pati hatiku telah habis tak bersisa kala itu. Jadi aku mengira, kali ini tak ada saripati setitik pun untuk kabar busuk ini sehingga aku akan disergap rasa hampa alih-alih kesedihan. Tapi sari pati hati ternyata bisa kembali tumbuh meski ia telah diperas atau diisap habis sampai ke sumbernya, selama kau masih manusia.

Sial! Sekarang makhluk keji itu telah datang dan bersemayam di sudut sana.

Rabu, 09 Juli 2014

Alam Pikir: di Balik Pilpres 9 Juli 2014

Terlalu banyak membaca novel-novel dengan kisah penuh intrik, polemik, dan konspirasi membuat pikiran saya sedikit menyimpang dari pikiran orang lain pada umumnya.

Misalnya ketika melihat kebakaran kios-kios kumuh. Saya akan berpikir: jangan-jangan itu kebakaran rekayasa biar seseorang bisa mendirikan supermall di lahan bekas kebakaran yang melompong itu. Atau, ketika membaca tentang merebaknya MERS. Itu terasa janggal di mata saya. Bagaimana mungkin unta yang sudah beratus-ratus tahun ada di timur tengah, baru sekarang menyebarkan virus berbahaya? Jangan-jangan itu.. Ah, tapi itu cuma 'jangan-jangan' saja kok :D

Pemilihan umum tahun 2014 ini, terasa sangat ricuh bagi saya. Saya selalu berdecak tiap membuka jejaring sosial macam Facebook atauTwitter. Masing-masing pendukung sepertinya sangat bersemangat membela calonnya sekaligus memengaruhi orang lain. Tapi tak jarang, mereka jadi terlalu bersemangat menjatuhkan calon yang lain. Ini yang membuat mata terasa sepet.

Si ini mendukung calon yang ini, si itu mendukung calon yang itu: itu sah-sah saja. Tapi sayangnya, banyak yang kemudian jadi fanatik: selalu mencari kejelekan calon lawan, mengagung-agungkan kebaikan calon yang dijagokan, menutup mata pada kebaikan calon lawan, menutup mata akan keburukan calon yang dijagokan.

Ini semakin mirip chauvinisme ala Hitler saja, bedanya, yang diagung-agungkan bukan lagi ras, tapi hanya calon presiden. Dan fenomena ini, yang semakin terasa kental saat mendekari hari H pemilu, tidak juga pudar setelah pemilu usai. Mungkin, besok pun, ketika calon terpilih memimpin, akan muncul hujatan-hujatan lain seperti saat masa kampanye.

Di artjog festival, ada sebuah lukisan yang menarik minat saya. Di lukisan itu, terlihat orang-orang yang sedang gontok-gontokan satu sama lain. Mereka tidak sadar jika sebenarnya sedang dikendalikan oleh seekor kucing besar berwarna oranye. Si kucing besar ini tampak menikmati mainannya. Ia juga tidak sadar jika dirinya sebenarnya dikendalikan dua sosok manusia yang lebih besar.

Kurang lebih, seperti itulah bayangan saya tentang keadaan saat ini. Terlalu banyak berkhayal ya? Heheh. But, who knows?

Ada pihak asing yang takut kalau calon itu menjadi presiden. Apa sebabnya? Ada juga orang yang rela membuat situs berita abal-abal sebagai sarana menjelek-jelekkan capres yang ini. Apa sebabnya?  Masing-masing pasti punya motif sendiri.

Perseteruan dua capres tahun ini mengingatkan saya pada perseteruan terselubung antara Sukarno dan Suharto tahun 1960-an lalu.

Ketika mengamati latar belakang calon yang itu, keluarganya, backgroundnya, bisa jadi orang-orang di belakangnya adalah keturunan orang-orang yang dulu pernah melakukan kudeta yang tak terendus. Sedang ketika mengamati orang-orang di belakang calon yang satunya lagi, bisa jadi mereka adalah keturunan orang-orang yang dulu kecipratan kekuasaan ketika ada yang mendaulat sebagai presiden seumur hidup.

Tapi sejak dulu hingga kini, penyebab semua pembantaian, penjajahan, dan kekejian atas kemanusiaan hanya satu: gold. Menurut saya, glory dan gospel hanyalah pameo.

Terpilihnya calon yang itu mungkin akan melicinkan jalan bisnis dan pundi-pundi emas untuk pihak-pihak tertentu, Terpilihnya calon ini mungkin akan melicinkan bisnis dan aliran pundi-pundi emas bagi pihak yang lain. Semua mungkin. Ini tetang generasi berbeda dari penguasa-penguasa yang sama.

Jika dulu penjajah memperebutkan repah di bumi nusantara melalui raja-raja dan penguasa pribumi, bukan tidak mungkin kini mereka memperebutkan tambang berharga melalui pelaku-pelaku politik di negeri ini.

Ou yeah, saya semakin ngelantur.

Yang jelas, seperti pesan simbah, jangan jadi fanatik pada calon tertentu. Fanatik membuat seseorang menjadi gelap mata. Pelajari kebaikan keduanya, amati dan kritisi kekurangannya.  (aih, saya harusnya menuliskan pesan ini jauh hari sebelum pilpres)

Sabtu, 21 Juni 2014

Lelaki Pencinta Buku


Katanya seseorang cenderung suka pada lawan jenis dengan kegemaran yang sama. 

Sama-sama suka membaca buku, misalnya, lalu saling suka gara-gara tak sengaja bersentuhan tangan ketika hendak mengambil buku yang sama. Sama-sama suka lihat bola dan kemudian jatuh cinta di malam-malam saat mereka nonton bola bersama. Sama-sama suka bulu tangkis dan rasa cinta tumbuh seiring pukulan-pukulan yang melambung meninggi. Atau sama-sama suka bermain drama lantas jatuh cinta ketika memerankan drama yang sama.

Tapi aku justru belum pernah satu kali pun naksir cowok yang suka membaca buku atau menulis.

Padahal, buku dan menulis adalah duniaku. Buku adalah satu-satunya dunia yang selalu sudi menerimaku kembali, meski ia pernah kutinggalkan hingga berapa lama, meski saat kembali padanya,  jiwaku tak selalu murni.

Penulis dengan sesama penulis, musikus dengan sesama musikus, fotografer dengan sesama fotografer. Bukankan itu terlihat manis? Berduet menciptakan karya, menghabiskan malam-malam bersama di studio yang sama, atau menorehkan nama besar di dunia yang sama.

Mungkin hukum fisika benar-benar berlaku padaku: dua kutub yang sama akan saling tolak-menolak dan dua kutub berbeda akan saling tarik-menarik.

Ini bukan berarti aku lantas benci orang yang suka membaca loh. Enggak kok, aku tetep suka. Suka banget malah. Bersama pergi ke toko buku, menghabiskan berjam-jam untuk membaca, saling mengabarkan buku-buku bagus yang baru saja dibaca, atau heboh mendiskusikan sebuah buku. Yah, hanya saja kedekatan yang terjalin antara aku dengan cowok pencinta buku—atau menulis—biasanya bukan dalam ranah romasa. (Meski kadang beberapa orang menyalahartikan kedekatan itu)

Kenapa? Aku juga tidak tahu. Mungkin karena hukum fisika.

Lelaki pertama, sebut saja begitu, bukan seorang yang menggemari buku. Pun menulis. Sejak kecil dunianya ada pada gambar dan lukisan yang ia torehkan pada selembar kertas atau kanvas. Entah berapa banyak piala yang telah ia raih sejak usianya masih dini. Pun ketika di SMA, ia termasuk 3 ilustrator kondang di sekolah dan kerap mendapat pujian dari guru seni rupa. *Ini bukan promosi*

Sisi manis darinya—ini baru kusadari beberapa waktu lalu—adalah memberikan sebuah buku sekaliber dan sekeren The Alchemist-nya Paulo Coelho padaku. Tanpa kusadari, ia memperkenalkanku padaku genre yang belum pernah kumasuki sebelumnya. (Yeah, sebelumnya aku hanya banyak membaca fiksi fantasi -_-)

Lalu, si Lelaki. Sebut saja begitu.

Ia sama sekali tak suka buku. Pernah suatu ketika aku mengajaknya ke toko buku. Ia terlihat sangat gelisah dan seolah ingin beranjak pergi. Baru kali itu aku melihat reaksi yang seperti itu.

“Kamu kok kayak gelisah begitu?” tanyaku padanya.
“Aku merasa terasing di sini. Merasa terintimidasi.”
Sontak aku tertawa, dan cengengesan mem-bully-nya. Tapi kuputuskan untuk mengenalkan sedikit keajaiban duniaku padanya. “Sebentar ya. Aku mau mendengarkan suara-suara buku yang memanggilku.”
“Memanggil? Bagaimana bisa? Bagaimana caranya?”
Aku menarik lengannya menuju sehamparan buku. “Sini. Begini caranya...” *trik ini rahasia*
Dan ia hanya tertawa.

Hal yang sama juga terjadi padaku ketika aku diajaknya menonton siaran bola kesukaannya. Dari HP. Oh itu mungkin saja karena aku melihatnya dari HP. Mungkin jika melihat dari layar televisi yang lebar, akan lain ceritanya.

Ada beberapa cowok lain yang sempat menarik perhatianku. Tapi mereka juga bukan pembaca buku atau penulis. Si itu adalah orang yang gemar main game, si itu adalah orang yang gemar mengutak-atik komputer, si itu adalah orang yang gemar bermain futsal, dan si itu adalah orang yang gemar bermusik.

Tapi mamas di gambar ilustrasi kok cakep ya >.< *OOT*

Kamis, 19 Juni 2014

Buku-buku yang Memanggil

Pernah enggak, merasa dipanggil oleh sebuah buku? Kamu nggak kenal buku itu, belum pernah mendengar orang lain ngomongin, dan kalau dilihat dari covernya, beuuuh, cover itu nggak-kamu-banget. Namun, entah mengapa, kamu tiba-tiba merasa terpanggil untuk membelinya. Aneh bukan?

Aku pernah.

Ada beberapa buku asing yang memanggilku. Sebelumnya aku nggak pernah baca ulasan tentang buku itu, tak pernah mendengar teman menceritakannya, juga tak direkomendasikan oleh siapa pun. Ketika berjalan-jalan di toko buku atau pameran, well, tiba-tiba saja buku itu memanggil.

"Hei, sobat. Aku tak setenar Harry Potter, Lord of The Ring, atau Supernova. Tapi kau tak akan menyesal membeliku." Mungkin begitu yang akan ia ucapkan kalau bisa berbicara.

Menjawab rasa heranku, seorang teman bilang, kita biasanya akan terpanggil oleh buku yang berfrekuensi sama dengan jiwa kita.

Kadang aku bersyukur karena lebih sering menggunakan panggilan-panggilan jiwa buku ketimbang rutin membaca sinopsis. Bisa dibayangkan, kalau rajin kepo di Goodreads atau blog resensi buku, pasti aku bakal kalap beli buku karena mengira semua buku itu bagus. Bagaimana pun juga, opini si resensor akan memengaruhi, kan?

Buku pertama yang memanggilku dengan kuatnya adalah Bartimaeus Trilogy: Amulet of Samarkand. Buku ini covernya sangat iuuh, bergambar makhluk seram yang sama sekali nggak imut, bukan-gue-banget lah kalau istilah anak muda zaman sekarang. Dan setelah dibaca, aku benar-benar tenggelam ke dalamnya dan cinta mati sama karakternya. Aku pun membeli buku kedua, ketiga, dan bahkan sekuelnya. Well, hanya sedikit teman yang tahu tentang Bartimaeus ini, di antaranya adalah Santi, yang tertarik stelah kupinjami, dan Pandu yang tiba-tiba nyaut ketika aku update status di FB. Dan Khabib.

Imut-imut, eh?

Yang kedua adalah Existere karya Sinta Yudisia. Sebelumnya, seperti apa itu Existere atau siapa Sinta Yudisia, aku belum pernah tahu (oke, mungin aku terlalu kuper). Tapi, wah, setelah membacanya, kepuasan tiada tara menyelimuti perasaan dan pikiran ini! Benar-benar membuka mata. Genre buku ini juga sangat berbeda dengan buku-buku yang sering kubeli loh.



Yang ketiga ialah Ring of Fire, sebuah catatan perjalanan dua orang asing di pedalaman-pedalaman Indonesia. Aku juga belum pernah dengar tentang buku itu--meski ternyata perjalanan dua orang asing itu telah difilmkan di BBC. Saat melihatnya di pameran, tiba-tiba buku itu memanggil agar aku menghampiri. Dan aku pun membelinya. Lagi-lagi, genre buku ini juga tidak sama dengan dua buku di atas.



Yang terakhir, Manusia Langit. Entah apa yang memanggil--cerita atau harga--aku pun membelinya. Dan, wao, banyak hal yang kupelajari dari buku itu. Budaya. Antropologi. Meski, yah, endingnya agak dipaksakan.



Jangan takut makan enak. Buku ini buku kesehatan. Hehe. Covernya juga biasa saja: hijau polos dengan tulisan JANGAN TAKUT MAKAN ENAK besar-besar. Tapi sukaaa banget bacanya.



Pernah mendengar keempat buku tadi? Yah, memang tidak terlalu terkenal sih... (Atau mungkin aku yang cupu karena setengah-setengah cari informasi, hehe)

Selain empat buku tadi, ada juga beberapa buku lain yang memanggil saya tapi tak terdengar terlalu kuat. Misalnya Skulduggery Pleasant, Kereta tidur (kumcer), 100 Resep Sederhana Orang-orang Bahagia, Balance Your Life Balance Your Hormon, Catatan Harian Seorang Mafia Pajak, Topi Selebar Langit (Terry Prachet), Amba, Wizard of Earthsea, City of Ember (sebelum difilmkan), Mitos dan Fakta Kesehatan, Beyond the Deepwoods, Knife, The Alchemist and The Angel,.... Ups, kalau disebutkan semua, bisa-bisa saya menyebutkan hampir semua koleksi novel di rak buku saya dong :p

Juga ada beberapa buku yang memanggil tapi saya urung membelinya hingga kini hanya sesal yang ada. Misalnya Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan), ini yang paling nyesek banget karena sekarang susah dicari.

Pernah nggak, merasa terpanggil oleh sebuah buku dan kemudian menyesal?
Pernah!

Sebenarnya lebih tepatnya saya merasa terpanggil oleh covernya. Waktu itu saya sedang berjalan-jalan di toko buku. Tiba-tiba pandangan saya diusik oleh peri di sebuah sampul buku. Cantik dan elegan! Itu selera saya banget, peri yang cantik dan misterius! Tapi saya tidak serta merta membelinya. Pada kesempatan lain, dengan tidak terlalu yakin, saya pun membelinya. Ah, ternyata saya kecewa. Frekuensi kami, saya dan buku itu, ternyata berbeda :(

Nah, mungkin pepatah bijak yang mengatakan "don't judge a book by its cover" itu memang perlu diingat setiap saat.

Kamis, 12 Juni 2014

Mitos

Yang namanya mitos, adalah sesuatu yang tidak ada tetapi diada-adakan. 

Misalnya, meludahi sumur bisa membuat bibir jadi sumbing. Itu katanya. Padahal, coba saja. Tidak akan bibirmu jadi sumbing hanya karena meludahi sumur. Ya, kan? 

Misalnya lagi, menduduki bantal bisa membuat pantat jadi bisul. Kalau dilihat dari ilmu kesehatan, engggak ada tuh mikroorganisme di bantal yang memicu bisulan. Nah lho. 

Yang tidak ada tapi diada-adakan. Itulah mitos.

Pernah dengar netralitas media? Ya, yang katanya media seharusnya tidak memihak dan bersikap netral. Itu juga cuma mitos. Menurut saya aja sih. Nggak ada yang namanya netralitas media.

Media, kalau itu memang benar media yang hidup, pasti ada kecenderungan ke mana arah pemberitaan. Bisa jadi kepentingan umum, kepentingan masyarakat, kepentingan mahasiswa, pemerintah, atau ilmu pengetahuan sekali pun.

Misalnya waktu kuliah. Ada dua pers di kampus, satu milik BEM, satu independen. Pers milik BEM ini tentu akan membuat berita-berita yang positif tentang BEM. Sedang yang satunya, dia berlaku sebagai watch dog alias pengamat. Kalau pemenrintahan BEM jelek, ya bilang jelek. Kalau bagus, ya bilang bagus. ralKalau jelek tapi bagus, ya bilang jelek tapi bagus. Beda sama yang satunya.

Nah, apakah pers kedua tadi netral? Enggak juga. Apakah dia independen? Enggak juga.

Konon pers kedua ini hidup karena dapat kucuran dana dari mahasiswa--meski banyak dari mahasiswa itu yang enggak sadar kalau mereka ikut mengucurkan dana. Nah, otomatis, ketika terjadi sebuah peristiwa, pers itu akan memihak pada kepentingan mahasiswa. Yang perlu diketahui mahasiswa, yang ingin diketahui mahasiswa, atau yang berguna bagi mahasiswa.

Tapi, karena ranahnya mahasiswa, maka bagi para mahasiswa di kampus saya, pers kedua terlihat lebih netral. Ya karena mahasiswa itu mayoritas dan pemegang kekuasaan itu cuma segelintir orang saja. Pers yang memihak pada mereka akan terlihat seolah netral. Lain halnya dengan pers yang memihak pada kekuasaan tertentu. Karena yang dipilihnya adalah minoritas, maka terlihat seolah tidak netral.

Masalah perspektif saja, sebenarnya.

Eh, tapi, ini bukan tentang kepenulisan lho... Misalnya agar suatu berita terlihat netral, harus dibuat dari dua sisi berbeda. Bukan! Ini tentang kecondongan pemberitaan media itu. 

Sudah ah, meracaunya. Ini semakin enggak jelas saja.

Sabtu, 07 Juni 2014

Jalan Memutar


Dulu, ketika membaca Perahu Kertas-nya Dee, aku belum paham benar kegalauan yang dirasakan Kugy. Kini, aku mulai paham. Sedikit.

Setiap penulis punya jenis tulisan yang disukainya. Mungkin fiksi, fiksi fantasi, science fiction, nonfiksi, atau sastra. Kugy suka dongeng dan ia ingin jadi penulis dongeng anak. Sayangnya, dongeng anak kurang laku di dunia Perahu Kertas. Itulah mengapa Kugy galau bukan main. Dia sempat beralih menulis cerita-cerita cinta di majalah, sampai kritikan dari Keenan menyadarkannya. Bagus, tapi seperti nggak hidup.

Dan, sepertinya itu juga terjadi di dunia nyata. Aku jadi curiga kalau itu sebenarnya bentuk kritikan Dee terhadap dunia percetakan di Indonesia.

“Penerbit itu jualan, kan?” Begitu kata CEO salah satu penerbit mayor di Indonesia.

Makannya penerbit pasti hanya menerima naskah-naskah yang kira-kira diminati pasar saja. Untuk fiksi,  yang diminati adalah novel-nove bertemakan romance. Yang ringan, tentu saja. Ini khusus untuk penulis pemula lho. Soalnya, kalau penulis besar, sepelik apa pun judul yang ia sodorkan, akan ada orang-orang yang terlanjur jatuh cinta pada karyanya. Serumit apa pun judulnya, akan ada orang-orang yang terlalu sayang untuk melewatkan.

Aku menyayangkan minimnya minat pembaca Indonesia terhadap buku-buku sastra.

Sejak SMP, aku terlanjur mencekoki diriku sendiri dengan fiksi-fiksi terjemahan. Waktu itu, tak kukenal siapa itu NH Dini atau Marah Rusli. Yang kukenal malah JK Rowling, RL Stine, Tolkien, Eva Ibbotson, Road Dahl, Sir Arthur Conan Doyle, Terry Prachet, Ursula K Leguin, dan sebangsanya. (Maka beruntunglah mereka yang sudah mengenal NH Dini sejak SMP)

Waktu itu, aku menganggap, kebanyakan buku remaja terlalu ringan untuk kubaca, kurang menantang, dan kurang imajinatif. Yeah, aku tahu ini salah.

Makannya sejak kuliah, tepatnya ketika memasuki semester empat, aku mulai membuka kesempatan pada karya-karya Indonesia. Aku mulai membaca buku-buku Indonesia. Supernova adalah novel pertama yang berhasil mencuri hatiku.

Bagiku, novel fiksi yang keren adalah yang bisa memancingku untuk berpikir, bertanya-tanya, atau menebak apa maksud si pengarang. Dan itu kutemui pada novel-novel sastra. Ada sesuatu yang misterius, disembunyikan, dan aku suka ketika berhasil menemukannya. 

Bagiku, sastra memberi kebebasan bagi penulis untuk mengutarakan isi kepala tanpa harus terlalu lugas. Bagiku, sastra adalah teman yang mau mendengarkan segala keluh kesahku, tanpa orang lain harus tahu apa arti sebenarnya.

Maka, ketika sastra adalah sesuatu yang kurang diminati di pasaran, dan kamu sangat ingin terlibat di dalamnya, pilihlah jalan berputar. Besarkan namamu sembari menggodok kemampuanmu. Setelah namamu besar, keluarkan apa yang telah kau godok selama bertahun-tahun.

Voila!

Selamat berjuang, temanku, Ranger Cyan! Juga Ranger Kuning!

Senin, 28 April 2014

Tak Kunjung Besar



Saya mempelajari sesuatu dengan cepat, lebih cepat dari pemula pada umumnya. Bukan sombong. Jika sama-sama memulai dari nol, maka kemampuan saya akan meluncur dengan cepat layaknya roket. Oke, sebenarnya tidak secepat roket juga sih. *Kita ralat dengan sepeda*

Mungkin, itulah mengapa saya pernah terpilih menjadi utusan provinsi dalam olimpiade sains nasional bidang fisika saat SMP padahal saya lulusan SDIT yang lebih banyak memahami pelajaran agama dan menghafal ayat Al Quran. Saya sama sekali tak yakin dapat menguasai pelajaran umum jika masuk SMP negeri. Tapi faktanya, saya berhasil masuk ke SMP unggulan di kabupaten dengan peringkat 13 pada ujian masuk dan selalu meraih peringkat lima paralel.

Mungkin, itulah mengapa saya beberapa kali menjuarai berbagai lomba menulis blog saat SMA, padahal saya belum lama menekuni dunia blogging, dan kompetisi menulis.

Mungkin, itulah mengapa saya kerap dipilih sebagai perwakilan sekolah dalam berbagai perkemahan saat SMP dan SMA, padahal saat SD, satu-satunya perkemahan yang pernah saya ikuti adalah jambore anak muslim yang isinya lomba-lomba islami.

Mungkin, itulah mengapa saya bisa meluncur naik roler blade dengan cukup lancar padahal itu pertama kalinya saya mencoba. Mungkin itu juga mengapa saya bisa langsung meluncur dengan riangnya di arena ice skating, melebihi anak lain yang sudah beberapa kali mencoba, dan tentunya melebihi anak yang lain yang masih berpegangan pada pagar arena. Mungkin jika melakukannya sedari dulu, saya bisa jadi pemain roller blade atau ice skating kelas kakap.

Mungkin, itu juga mengapa saya dipilih untuk mewakili kelas dalam perlombaan bulu tangkis, lari estafet, dan meraih posisi dua sejurusan. Padahal, kali terakhir bermain bulu tangkis adalah saat saya masih SD, saat ayah saya belummalas untuk berolahraga bersama anak-anak. Eh, ini mungkin karena partner saya di pertandingan hebat-hebat.

Mungkin, itu juga mengapa saya sudah pandai mengoperasikan mesin jahit manual sejak masih duduk di bangku awal sekolah dasar. Saya membuat kantung tas kecil persis seperti milik teman saya, hanya karena saya jatuh hati melihat tas itu. Saya juga menjahit sendiri baju-baju boneka saya. Membuat semua karya itu, saya tidak sesial adik saya yang menjahit jarinya sendiri ketika sibuk berakting menjadi penjahit.

Mungkin, itu juga mengapa saya selalu menduduki tiga besar di kelas semasa SMA. Padahal ketika masuh, NEM saya saat itu berada di jajaran bawah dan saya masuk kelas X4, atau kelas dengan nem ke 3 dari bawah (x6).

Mungkin, itulah mengapa saya bisa mendapat IP di atas 3,75, menempati peringkat belasan pada saat kelulusan di STAN. Padahal, saya murni anak IPA yang membenci pelajaran hafalan.

Tidak, saya tidak berniat menyombongkan diri. Baca dulu, bagian tragisnya belum saya ceritakan. Saya cuma mau bilang kalau saya cepat bosan. Itu saja.

Ya, semasa SMP saya memang selalu masuk lima besar paralel. Tetapi pada saat ujian akhir nasional, entah berapa peringkat saya. Mungkin di atas lima puluh. NEM saya hanya 28,00.

Ya, saya pernah mengikuti OSN Fisika tingkat nasional semasa SMP. Tetapi prestasi itu tak pernah kembali terulang semasa SMA. Paling pol hanya tingkat kabupaten dan itu terus menurun, drastis. Saya bosan. Saya justru beralih ke lomba-lomba menulis blog.

Ya, saya dulu aktivis pramuka. Saya sering berkembah. Tetapi semenjak kuliah, saya tak pernah mengikutinya, sekali pun. Saya justru beralih ke klub jurnalistik.

Ya, saya memiliki secuil prestasi dalam bidang olahraga. Tetapi prestasi itu tak juga berkembang. Sama seperti kemampuan saya yang tak kunjung berkembang terhalang kebosanan.

Saya memang bisa membuat jahitan sederhana sejak duduk di bangku SD. Tetapi kebosanan membuat kemampuan itu bertahan pada tempatnya. Sampai sekarang saya belum bisa membuat kebaya atau gaun pesta.

Ya, saya sellau menduduki tiga besar di kelas semasa SMA. Tetapi itu saja. Nilai UNAS saya, entah berapa peringkatnya, mungkin di atas seratusan. Tidak membanggakan seperti nilai rapor saya.

Ya, saya mendapat IPK 3,75 di STAN. Tetapi itu tak seberapa. Pada semester awal, IP saya 3,9 dan saya menempati posisi lima besar di jurusan saya. bayangkan sejauh apa penurunan yang saya alami?

Saya bukan mau sombong, saya cuma ingin cerita kalau saya ini mudah bosan. Itulah mengapa saya tak kunjung jadi orang hebat. Itulah mengapa say amasih jadi orang biasa-biasa saja, sampai sekarang.

Minggu, 30 Maret 2014

Pemilu: Di Balik Tradisi Konvoi Kampanye

(Foto: Solo Blitz)
(Bukan berarti saya ada apa-apa dengan partai merah ini lho ya)
Mendekati pemilihan umum alias pemilu, konvoi motor alias kampanya menjadi hal yang tidak jarang ditemui kala bepergian. Beramai-ramai mereka mengendarai motor, mengenakan atribut mencolok ala partai masing-masing, dan tak jarang, memainkan mesin motor (diblong) hingga mengeluarkan suara keras nan mengganggu. Istilah jawanya 'mblayer'

Sungguh mengganggu perjalanan, atau setidaknya itu pendapat saya. Pasalnya mereka sering sekali menimbulkan kemacetan. Sudah bising, kadang anarkis, bikin macet pula. Siapa yang bakal simpati?

Saya rasa mereka pun, yang ikut-ikutan konvoi itu, sebenarnya paham kalau rasa simpati masyarakat tak akan timbul dari konvoi bin 'mblayer-mblayer' tak jelas itu. Yah, setidaknya mereka yang mengenyam pendidikan seharusnya sadar.

Siapa sih yang suka dihambat rombongan konvoi berisik ketika sedang terburu-buru bertemu klien? Siapa sih yang mau perjalanan berobat ke rumah sakit dihambat rombongan orang-orang yang 'mblayer-mblayer' nggak jelas? Atau, siapa sih, yang ingin jalanan yang biasanya sudah cukup ramai harus semakin dipenuhi rombongan orang berpakaian mencolok yang berkendara lambat-lambat nan berisik?

Yang suka, silakan angkat tangan. Saya sih, tidak akan.

Lah, lantas mengapa mereka masih juga berkonvoi tak jelas? Bukankah seharusnya mereka tahu bahwa masyarakat tidak akan lantas mencoblos partai mereka karena 'tersentuh' melihat konvoi beramai-ramai yang super berisik itu?

Saya bukan pakar psikologi atau pakar politik yang ahli masalah kejiwaan. Tapi menurut saya, mungkin orang-orang itu hanya butuh ajang saja untuk menyalurkan hasrat mereka.

'Hasrat'? Ya, hasrat. Hasrat untuk berkumpul-kumpul, beramai-ramai, membuat kegaduhan.

Selain masa kampanye, tak ada lagi even yang bisa mewadahi hasrat ini. Kapan lagi coba, bisa berkumpul-kumpul membuat kebisingan di jalan tanpa ditegur atau ditindak polisi? Setelah pengumuman kelulusan ujian SMA atau SMP? Pasti akan segera ditenangkan oleh pihak berwajib.

Ya, kapan lagi kalau bukan di masa-masa mendekati Pemilu ini. Hanya orang tidak waras yang sudi mblayer-mblayer di jalan, sendirian, saat tak ada even apa pun. Malu, dan pasti akan mendapat protes keras dari pengguna jalan yang lain. Tapi  tentu beda  kan, kalau beramai-ramai?

Semoga tradisi konvoi 'mblayer-mlayer ini tidak terus berlanjut.

Mengagumi-Dikagumi


Sebut saja namanya Mona. Ia adalah salah seorang kawan semasa olimpiade dulu, kawan seperjuangan dan kawan berbagi ruang di Puri Artha dulu. Meski lebih muda, kawan yang satu ini amat sangat berprestasi. Entah berapa piala dan medali yang telah ia gondol, entah berapa kejuaraan yang ia menangkan.

Ia langganan mengikuti olimpiade sains tingkat nasional, bukan hanya sekadar ikut meramaikan seperti saya, ia langganan menyabet medali. Ia juga pernah mendapat hadiah sebuah perjalanan ke negara tetangga sana karena memenangkan kompetisi karya tulis ilmiah. Cantik, tinggi, percaya diri, dan yang terpenting ia pintar, atau bahkan cerdas.

Entah cerdas atau pintar, saya tak tahu. Karena sampai saat ini, hanya sedikit orang saya labeli dengan predikat cerdas. Sedikit saja, namun banyak di antaranya adalah anak ‘ndugal’ yang kerap diomeli para guru kesiswaan.

Si kawan saya ini akan melangsungkan pernikahan, yang katanya dihelat Mei depan. Saya ikut gembira mendengarnya *dan bertanya-tanya kapan giliran saya :p*

Terkadang saya berpikir.

Si kawan saya ini seolah begitu sempurna, begitu berprestasi, dan dilihat dari segi fisik, ia bisa dibilang rupawan. Mungkin putri Indonesia sekali pun tak akan sanggup menandingi si kawan ini ketika mereka dihadapkan pada pertanyaan yang sama. (Tapi jelas si kawan saya ini tidak akan ikut ajang semacam puteri atau miss Indonesia karena ia memegang teguh aturan agamanya)

Sedangkan di sisi lain, banyak orang yang tidak dianugerahi kesempurnaan macam dia. Terlahir dengan penampilan biasa saja, dengan isi kepala pas-pasan, dan tanpa bakat (atau sebenarnya hanya belum menemukan saja).

Mengapa tuhan menciptakan perbedaan semacam itu? Bsnyak orang bilang, “Tuhan terkadang tidak adil” atau “takdir memang kejam”. Mungkinkah saya akan membenarkan pernyataan itu?

Saya rasa tidak. Tuhan Maha Adil. Ia menciptakan segala perbedaan, agar tercipta rasa mengagumi-dikagumi. Saya mengagumi ia, ia dikagumi saya. Dia mungkin juga mengagumi seseorang, entah siapa. Dan mungkin saja, ada seseorang, entah siapa, yang mengagumi saya.

Bukan tak mungkin, lho, seseorang yang serba hebat atau serba wah, justru mengagumi kehidupan orang lain yang serba biasa.

Si A mengagumi si B karena ia mendulang kesuksesan dalam usaha, hidup bergelimang harta, memiliki pasangan cantik nan rupawan, dan anak-anak yang selalu membanggakan. Tapi entah mengapa, si B justru mengagumi A yang selalu bahagia meski hidup sederhana, selalu “legowo”, selalu mensyukuri apa yang diberikan tuhan.

Tuhan benar-benar maha adil. Syukuri saja apa yang ia beri :)

Kamis, 27 Maret 2014

Tamu Tak Diundang


"Harga motor cowok berapaan ya?" tanyaku pada penghuni kamar kost malam tadi.

"Kayaknya sih belasan juta, iya bukan?"

"Eh, tapi ada juga yang empat puluh sembilan juta," jawab oknum W.

Seketika hati ini runtuh menjadi serpihan. Duh, mana mungkin saya punya uang sebanyak itu. Apakah harus jual motor, laptop? Saya baru ingat, itu bukan milik saya sepenuhnya. Apakah saya harus menjual semua perhiasan yang saya punya? Hanya itu harta yang saya punya, juga harga diri. *berasa emak-emak*

Saya tidak menyangka bahwa gerbang yang tadi sore terbuka tidak seperti biasa, merupakan pertanda akan tindak kriminal. Saya pikir, ada seseorang yang sedang menerima tamu lantas membiarkan gerbang terbuka secara tidak wajar. Saya tidak pernah menyangka bahwa tamu itu ternyata maling.

Malam tadi, seusai makan bersama dengan adik, tiba-tiba sebuah nomor asing memanggil. Nomor telepon rumah. Meski curiga, saya mengangkatnya. Siapa tahu itu dari seseorang di YKAKI yang tadi siang sempat saya wawancarai, karena ingin menanyakan sesuatu.

Ternyata itu dari sekretaris kantor saya.

"Halo Tiya, Ini xxx. Kamu tadi waktu pulang, gerbang kamu tutup lagi nggak?" tanyanya.

Sontak, jantung saya (seperti) berhenti sesaat. Saya tahu ada hal buruk terjadi. Kemungkinannya hanya satu, kemalingan. Barang yang dimaling juga satu kemungkinannya, motor. Membayangkan yang sore tadi saya lakukan dan saya putuskan, rasa sesal muncul. Duh, kenapa ya, gerbangnya tidak ditutup saja. Seharusnya, meski aneh, saya tetap melakukan prosedur normal.

"Enggak mbak. Tadi kubiarkan saja." jawabku, lemas. Tapi tentu saja aku menambahkan detil cerita. "Soalnya sebelumnya gerbangnya terbuka di tengah. Kupikir ada yang sengaja membuka, atau ada yang sedang menerima tamu,"

Dan ba bi bu, percakapan berlangsung selama beberapa menit. Saya menjelaskan ini itu. Dari percakapan itu, saya tahu bahwa salah seorang wartawan di kantor telah kehilangan motornya. Motor cowok, bukan motor bebek.

Pikiran saya pun melanglang ke mana-mana. Menyusuri jejak waktu menuju masa lalu dan melayang membayangkan apa yang akan terjadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kronologinya?

Pertama. Kapan terjadinya kasus itu. Apakah sebelum saya pulang, atau sesudah saya pulang? Pasalnya kalau kejadiaan nahas itu terjadi setelah saya pulang, saya adalah orang yang harus disalahkan dan menanggung semuanya karena alpa menutup pintu gerbang.

Saya pun mereka-reka posisi motor di kantor. Saya ingat benar posisi motor ketika saya pulang, ada satu motor cowok persis di depan motor saya. Jika motor itu hilang, saya patut disalahkan.

Tapi saya juga ingat, ketika usai liputan sekitar pukul 2 siang, di lokasi itu sebelumnya ada tiga motor. Motor saya, dan dua motor nonbebek lain. Anehnya, ada satu motor yang sudah menghilang ketika saya pulang, entah dibawa pulang si empunya atau dicomot maling. Saya tidak tahu.

Motor mana yang diambil? Malam itu saya puyeng dan lemas memikirkannya. Terlepas dari rasa sedih saya karena ada rekan kerja yang telah kehilangan motor.

"Kamu aja puyeng, gimana coba yang kehilangan motor, pasti dia lebih puyeng," komentar salah satu penghuni kamar malam tadi.

Dan pagi tadi, saya langsung menanyakan semuanya pada orang-orang di kantor, sejelas mungkin. Beruntung mas-mas OB berinisial A ada di lokasi parkir motor. Saya pun menanyakan detil kejadian.

Ternyata motor yang hilang bukan motor di depan motor saya, yang notabenya motor mas A. Asumsi waktu kejadian pun semakin sempit, yakni antara kepulangan saya dan orang sebelum saya, yakni Kepala Kantor. Padahal, selang itu hanya beberapa menit saja, antara pukul 18.05 hingga sebelum pukul 18.30.

Dua motor rusak kontaknya, dicongkel. Praduga kami, maling itu mencoba mencongkel dua motor itu sebelum akhirnya beralih ke motor wartawan A yang lebih baru dan gres.

Kita memang tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Tak ada salahnya jika melakukan tindakan pencegahan, meski akan terkesan lebay. Menurut saya, tak apa lebay, asalkan orang-orang yang berhati kelam itu tidak bisa melampiaskan kekelaman hatinya.

Untungnya lagi, motor si A sudah diasuransikan.

Kira-kira, apa yang terjadi kalau saat itu saya menutup pintu gerbang?
Waktu kejadian akan semakin sulit ditebak, saya rasa.



Selasa, 25 Maret 2014

Pura-Pura Melarat

"Iya, ke kantor naik motor aja. Kan bensin yg dikeluarin juga nggak seberapa, cuma sedikit," ujar mbak kost pagi tadi, menanggapi ucapanku sebelumnya.

"Aku ke kantor naik sepeda bukan karena biar irit bensin mbak, tapi biar sekalian olahraga,"

"oh iya. Benar juga ya," jawabnya lagi.

Saya akui, saya memang terkadang bertingkah seperti orang melarat.

Setiap Senin dan Kamis, saya sering puasa. Lalu hari Selasa, Rabu, dan Jumat saya biasa mengendarai sepeda ke kantor. Saya kerap membawa bekal makan sendiri. Kalaupun membeli makan di luar, saya hanya mau tempe, tahu, dan terkadang ikan atau telur.

Tidak pernah membeli ayam? Ya.

Bukankah saya terlihat seperti orang yang sangat kere? Bahkan buruh pun sesekali makan dengan daging ayam. Sedang saya, seringnya hanya melahap tahu atau tempe.

Sebenarnya uang saya lebih dari cukup untuk membeli ayam atau daging merah. Tapi saya memang memutuskan untuk mengurangi protein hewani, lebih memilih protein nabati, untuk alasan kesehatan. Kalaupun protein hewani, saya lebih memilih ikan laut.Terkadang saya makan daging kambing atau sapi. Terkadang juga saya makan daging ayam, hanya ayam kampung.

Saya diberi sepeda motor oleh orangtua. Tapi saya lebih memilih bersepeda ke kantor. Alasannya? Lagi-lagi kesehatan.

Mungkin akan banyak orang yang berkomentar. "Ah ribet amat sih, mau sehat aja kok susah."

Saya sih, tidak akan menyalahkan anggapan itu. Pasalnya memang banyak orang tidak tahu, bahwa sehat terkadang tidak mudah, bahwa terkadang sehat itu tidak selamanya hidup enak.

Garam dan gula. Siapa yang tahu kalau dua zat yang umum ditambahkan ke dalam masakan itu dapat menimbulkan bahaya jika dikonsumsi berlebih? Diabetes, obesitas, darah tinggi, dan percepatan penuaan.

Siapa yang tahu bahwa duduk sepanjang hari, yang terasa nyaman dan santai, memperbesar peluang cacat dan penyakit di kala usia menginjak senja.

Siapa yang tahu bahwa makanan yang terasa nikmat--seperti gorengan, mi instan, burger, pizza, ayam goreng--ternyata dapat meningkatkan kolesterol atau menyebabkan pengapuran pembuluh darah.

Siapa yang tahu? Siapa yang peduli? Kalaupun tah, makan enak dan hidup nyaman tentu lebih penting.
Pantas saja banyak orang masa kini yang terserang penyakit jantung, penyakit yang dulu hanya diderita orang-orang kaya saja.

Pantas saja kini diabetes menjamur, orang tak lagi peduli jumlah asupan kalori yang masuk atau keluar. Yang penting hidup nyaman.

Salah seorang kawan memposting foto. Dalam foto itu ia sedang meikmati semangkuk es krim yang membumbung tinggi. Kata ia, "sehat itu adalah ketika kamu bisa makan apa saja yang kamu mau."

Dalam hati saya melengos. Juga tertawa.

Iya, bisa makan apa saja memang indikator bahwa tubuh kita sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya. Tapi kalau terus menuruti selera, suatu saat tubuh akan kehilangan kemampuan mendetoksifikasi diri, racun akan menumpuk, dan akhirnya kita tak bisa lagi meraup segala yang kita inginkan.

Batasi diri sekarang juga, sebelum suatu saat penyakit membatasimu. Itu yang saya pelajari selama menulis berbagai artikel keaehatan di detikHealth.

Senin, 24 Maret 2014

Mengapa Saya?


Membuka percakapan di layar kaca, entah via Facebook, Whats App, atau pesan singkat, terkadang tiba-tiba hati saya melengos.

"Kamu tolong ini ya...."
"Oh iya, ini juga belum. Kamu bisa kan?"
"Si ini nggak bisa soalnya lagi gitu..."

Saya terbiasa mengabdi sepenuh hati. Memberikan segala yang saya punya pada sesuatu yang kepadanya, saya tambatkan kepercayaan dan hati saya. Saya rela melakukan ini dan itu, segalanya.

Sayangnya, tak semua orang memiliki pemikiran seperti itu. Bahkan terkadang cenderung ber-aku-aku.
"Tapi aku tidak mau,"
"Aku bisa tapi..."
"Aku enggan soalnya begini,"
"Aku sedang ini jadi ini,"

Hingga terkadang saya kerap berpikir, Mengapa saya? Mengapa saya yang harus melakukannya? Di mana yang lain?

Mungkin ketika level kadar hormon sedang stabil, saya akan kalem, mengerjakan semua hal berat itu dengan tawa atau canda, sembari sesekali "berpolah". Namun terkadang, ada luapan emosi yang ada tak dapat terbendung. Belum lagi ditambah kelelahan usai perjalanan panjang, beban kewajiban diri sendiri, dan ditambah beban dari orang yang menolak, atau berhalangan hadir.

Saya rasa, tidak ada salahnya mengutarakan segala kesebalan yang ada di pikiran. Daripada terus menumpuk, membusuk, dan memicu penyakit. Mengomel, mencak-mencak, menggerutu, bukan selamanya hal negatif.

Orang butuh mengeluarkan kotoran dari dalam tubuh, melalui keringat, urin, dan feses. Begitu pula kotoran dalam hati, entah apa cara yang dipilih. Mungkin dengan doa, ibadah, bersih-bersih, mengomel, atau menulis.

Yang jelas, setiap orang punya cara masing-masing.

NB: Sedang berada di titik nadir. Teringat beberapa tahun lalu ketika saya disalahkan karena tidak hadir pada hari pertama dalam acara yang berlangsung selama dua hari. Saya berusaha datang di hari kedua, meski orangtua meminta saya tinggal. Dan setibanya di sana, setelah acara usai, saya justru seolah disidang. Padahal, saya bukan satu-satunya orang yang tidak hadir, ada beberapa yang lain. Ingatan itu, saya cuma ingin membuangnya, daripada menjadi kotoran di dalam hati.

Selamat tinggal.

Selasa, 18 Maret 2014

Trade Off


Kemarin pagi, saya berbincang-bincang dengan Bapak. Seputar kolam ikan yang sedang dibuat, tentang masa kerja kelak, dan tentang masa magang ini.

Di saat anak-anak lain memilih untuk magang di KAP (Kantor Akuntan Publik), KKP (Kantor Konsultan Pajak), dan berbagai perusahaan keuangan lain, saya justru memilih untuk megang di salah satu media online. Alasannya simple, mengejar passion sebelum besok harus benar-benar bekerja sebagai PNS di bidang keuangan.

"Anak teman bapak yang dari Pengasih magang di KAP di Jakarta. Gajinya per bulan 2,8 juta," tutur Bapak.

"Kalau di Jakarta, apalagi di perusahaan keuangan memang sekitar segitu Pak. Tapi ya, bakal lupa sama rumah. Jarang pulang. Keasikan kerja atau keasikan dapat uang banyak,"

"Iya. Memang jarang pulang. Seperti sudah kerja beneran. Padahal kan, besok kalau sudah kerja juga bakal jarang bisa pulang,"

Memang asik kerja di tempat semacam itu. Pergi ke berbagai daerah untuk melakukan pemeriksaan keuangan, sesekali sambil berjalan-jalan atau menikmati kuliner setempat. Jujur, saya juga ingin berjalan-jalan seperti itu.

Tapi memang selalu ada trade off, selalu ada pertukaran antara kesenangan yang satu dengan kesenangan yang lain. Dibanding kesenangan gaji yang lebih besar atau kesenangan melancong ke berbagai penjuru, saya lebih memilih quality time bersama keluarga dan teman-teman di kampung halaman. Saya lebih memilih momen-momen yang dulu tidak saya dapatkan semasa kuliah, atau kelak ketika sudah mengabdi pada negara.

Saya memilih magang di Jogja, meski dengan bayaran tak seberapa. Yang jelas, tiap jumat malam saya bisa pulang ke rumah, menikmati waktu 4 hari 3 malam bersama keluarga. Mencicipi masakan ibu, berbincang ngalor ngidul dengan bapak, mengusili Hikma, mengantar Dina lomba, merawat para ikan, ayam, atau hamster, menjajal resep-resep baru, atau berjalan-jalan pagi di jembatan Progo tua.

Saya memilih untuk menikmati waktu senggang bersama teman-teman semasa SMA atau SMP. Menikmati aneka kuliner di Jogja, berjalan-jalan ke pantai nan elok di Gunung Kidul, menyambangi aneka pasar hewan untuk mencari ikan, menapakkan kaki di Hutan Pinus, atau sekadar berkunjung ke rumah teman lama.

Saya lebih memilih jalanan yang lebih lengang. Tak lebih dari lima belas menit untuk ke kantor dengan mengendarai sepeda motor. Tak lebih dari dua puluh lima menit untuk pulang dari kantor dengan mengendarai sepeda.

Saya lebih memilih untuk bersatai di malam atau pagi hari. Membaca novel, menyambangi toko buku kesayangan di bilangan Jalan Affandi sembari menyaksikan ikan koi yang montok, memasak sayur, menikmati kuliner malam, menonton film bersama kawan di kost, atau terkadang, tapi sangat jarang, belajar TKD.

Mungkin saya tidak mendapat gaji di atas UMR Jakarta, 2,2 juta, seperti anak-anak lain. Tapi saya mendapat semua kebahagiaan itu. Saya mendapat semua momen indah bersama teman dan keluarga. Saya tak lagi melewatkan saat-saat ngumpul, seperti dulu. Saya bisa mengunjungi tempat-tempat yang belum saya kunjungi di Jogja. Maka, nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?

Dan terlebih, tempat saya magang bukan tempat biasa dengan orang-orang biasa. Detik.com adalah media online nomer satu dengan orang-orang yang lebih darisekadar biasa. Amazing! :D



Selasa, 11 Maret 2014

Mendua


"Heran deh, kok bisa orang itu mengkhianati istrinya? Padahal mereka sudah hidup bersama selama bertahun-tahun. Membangun rumah tangga dari nol."

"Kok ada ya, orang setega itu?"

Begitulah komentar-komentar yang kerap diutarakan ketika menemui kasus perselingkuhan. Si terdakwa alias pelaku selingkuh dianggap jahat, tidah tahu diri, tidak berperikemanusiaan, pokoknya setara penghuni hotel prodeo. Cacian, makian, dan serapah pun dikeluarkan, berharap agar orang yang selingkuh mendapat ganjaran setimpal.

Dan sepertinya itu juga terjadi padaku. Bukan, bukan aku yang diselingkuhi. Akulah yang menyelingkuhi.

Ia adalah kekasih pertamaku di dunia maya. Jauh sebelum Facebook populer, jauh sebelum twitter muncul, aku telah lama menjalin hubungan dengan ia. Berbagai kisah kubeberkan, berbagai kenangan kuabadikan, dan berbagai prestasi kutorehkan bersamanya.

Ketika anak lain asik memilih foto-foto dan tulisan berwarna-warni untuk dijadikan penghias halaman Friendster, aku justru asik mencari-cari gambar bernuansa artistik. Ketika anak lain sibuk merangkai kata untuk dijadikan status di Facebook, aku asik berbincang dengannya. Ketika anak lain asik berkicau di Twitter, aku justru asik mempercantik penampilannya.

Ah tapi, ternyata aku sama saja dengan mereka, para pria yang menyelingkuhi istrinya, atau para istri yang menduakan suaminya. Aku tak tahan godaan, Aku adalah orang yang mudah mendua.

Tahun 2010, tak lama setelah upacara kelulusan SMA dihelat, aku berkenalan dengan si huruf F. Sejak lama teman-temanku telah berkenalan dengan si F, namun aku selalu menghindar karena tidak ingin aktivitasku terganggu. Tapi akhirnya aku berkenalan juga dengannya. Toh, ini kan agar aku tak kehilangan komunikasi dengan teman-temanku setelah kami berpisah nanti.

Dan tak lama, aku pun asik merangkai kata untuk diunggah sebagai status. Kadang alay, kadang labil, kadang juga puitis. Aku sadar, aku mulai menduakan ia meski terkadang masih menyempatkan diri bercakap dengannya.

Dua tahun berselang, aku mulai berkenalan dengan si burung ceriwis berwarna biru muda. Padahal, dulu aku menolak mati-matian berkenalan dengannya. Menganggap ocehan dengannya hanyalah kalimat dangkal, pendek, atau kalimat duplikat.

Tapi toh, tak lama kemudian aku semakin asik menjalin hubungan dengannya. Memang, lebih mudah untuk bercerita pada si T ini. Tak perlu paragraf padu nan indah, cukup satu kalimat pendek berkarakter 140 huruf. Jika malas menguntai kata, tinggal retweet saja kata-kata atau gagasan orang lain.

Aku mulai menigakan ia yang pertama.

Lalu aku berkenalan dengan Deviant Art, Google Plus, dan Tumblr. Aku lupa dengan siapa terlebih dahulu hubungan mulai kurajut. Mungkin, karena banyaknya hubungan yang kujalani. Kalau di dunia nyata, ini tak beda dengan seorang playboy atau play girl.

Untungnya ini tak sama dengan hubungan percintaan di dunia nyata. Meski di dunia maya menjalin ikatan dengan berbagai macam media sosial, di dunia nyata, aku hanyalah aku.

Maafkan aku rumahku. Sungguh aku ini tak tahu diri. Datang, pergi, lama tak kembali, dan kemudian datang lagi sesuka hati.