Minggu, 30 Maret 2014

Pemilu: Di Balik Tradisi Konvoi Kampanye

(Foto: Solo Blitz)
(Bukan berarti saya ada apa-apa dengan partai merah ini lho ya)
Mendekati pemilihan umum alias pemilu, konvoi motor alias kampanya menjadi hal yang tidak jarang ditemui kala bepergian. Beramai-ramai mereka mengendarai motor, mengenakan atribut mencolok ala partai masing-masing, dan tak jarang, memainkan mesin motor (diblong) hingga mengeluarkan suara keras nan mengganggu. Istilah jawanya 'mblayer'

Sungguh mengganggu perjalanan, atau setidaknya itu pendapat saya. Pasalnya mereka sering sekali menimbulkan kemacetan. Sudah bising, kadang anarkis, bikin macet pula. Siapa yang bakal simpati?

Saya rasa mereka pun, yang ikut-ikutan konvoi itu, sebenarnya paham kalau rasa simpati masyarakat tak akan timbul dari konvoi bin 'mblayer-mblayer' tak jelas itu. Yah, setidaknya mereka yang mengenyam pendidikan seharusnya sadar.

Siapa sih yang suka dihambat rombongan konvoi berisik ketika sedang terburu-buru bertemu klien? Siapa sih yang mau perjalanan berobat ke rumah sakit dihambat rombongan orang-orang yang 'mblayer-mblayer' nggak jelas? Atau, siapa sih, yang ingin jalanan yang biasanya sudah cukup ramai harus semakin dipenuhi rombongan orang berpakaian mencolok yang berkendara lambat-lambat nan berisik?

Yang suka, silakan angkat tangan. Saya sih, tidak akan.

Lah, lantas mengapa mereka masih juga berkonvoi tak jelas? Bukankah seharusnya mereka tahu bahwa masyarakat tidak akan lantas mencoblos partai mereka karena 'tersentuh' melihat konvoi beramai-ramai yang super berisik itu?

Saya bukan pakar psikologi atau pakar politik yang ahli masalah kejiwaan. Tapi menurut saya, mungkin orang-orang itu hanya butuh ajang saja untuk menyalurkan hasrat mereka.

'Hasrat'? Ya, hasrat. Hasrat untuk berkumpul-kumpul, beramai-ramai, membuat kegaduhan.

Selain masa kampanye, tak ada lagi even yang bisa mewadahi hasrat ini. Kapan lagi coba, bisa berkumpul-kumpul membuat kebisingan di jalan tanpa ditegur atau ditindak polisi? Setelah pengumuman kelulusan ujian SMA atau SMP? Pasti akan segera ditenangkan oleh pihak berwajib.

Ya, kapan lagi kalau bukan di masa-masa mendekati Pemilu ini. Hanya orang tidak waras yang sudi mblayer-mblayer di jalan, sendirian, saat tak ada even apa pun. Malu, dan pasti akan mendapat protes keras dari pengguna jalan yang lain. Tapi  tentu beda  kan, kalau beramai-ramai?

Semoga tradisi konvoi 'mblayer-mlayer ini tidak terus berlanjut.

Mengagumi-Dikagumi


Sebut saja namanya Mona. Ia adalah salah seorang kawan semasa olimpiade dulu, kawan seperjuangan dan kawan berbagi ruang di Puri Artha dulu. Meski lebih muda, kawan yang satu ini amat sangat berprestasi. Entah berapa piala dan medali yang telah ia gondol, entah berapa kejuaraan yang ia menangkan.

Ia langganan mengikuti olimpiade sains tingkat nasional, bukan hanya sekadar ikut meramaikan seperti saya, ia langganan menyabet medali. Ia juga pernah mendapat hadiah sebuah perjalanan ke negara tetangga sana karena memenangkan kompetisi karya tulis ilmiah. Cantik, tinggi, percaya diri, dan yang terpenting ia pintar, atau bahkan cerdas.

Entah cerdas atau pintar, saya tak tahu. Karena sampai saat ini, hanya sedikit orang saya labeli dengan predikat cerdas. Sedikit saja, namun banyak di antaranya adalah anak ‘ndugal’ yang kerap diomeli para guru kesiswaan.

Si kawan saya ini akan melangsungkan pernikahan, yang katanya dihelat Mei depan. Saya ikut gembira mendengarnya *dan bertanya-tanya kapan giliran saya :p*

Terkadang saya berpikir.

Si kawan saya ini seolah begitu sempurna, begitu berprestasi, dan dilihat dari segi fisik, ia bisa dibilang rupawan. Mungkin putri Indonesia sekali pun tak akan sanggup menandingi si kawan ini ketika mereka dihadapkan pada pertanyaan yang sama. (Tapi jelas si kawan saya ini tidak akan ikut ajang semacam puteri atau miss Indonesia karena ia memegang teguh aturan agamanya)

Sedangkan di sisi lain, banyak orang yang tidak dianugerahi kesempurnaan macam dia. Terlahir dengan penampilan biasa saja, dengan isi kepala pas-pasan, dan tanpa bakat (atau sebenarnya hanya belum menemukan saja).

Mengapa tuhan menciptakan perbedaan semacam itu? Bsnyak orang bilang, “Tuhan terkadang tidak adil” atau “takdir memang kejam”. Mungkinkah saya akan membenarkan pernyataan itu?

Saya rasa tidak. Tuhan Maha Adil. Ia menciptakan segala perbedaan, agar tercipta rasa mengagumi-dikagumi. Saya mengagumi ia, ia dikagumi saya. Dia mungkin juga mengagumi seseorang, entah siapa. Dan mungkin saja, ada seseorang, entah siapa, yang mengagumi saya.

Bukan tak mungkin, lho, seseorang yang serba hebat atau serba wah, justru mengagumi kehidupan orang lain yang serba biasa.

Si A mengagumi si B karena ia mendulang kesuksesan dalam usaha, hidup bergelimang harta, memiliki pasangan cantik nan rupawan, dan anak-anak yang selalu membanggakan. Tapi entah mengapa, si B justru mengagumi A yang selalu bahagia meski hidup sederhana, selalu “legowo”, selalu mensyukuri apa yang diberikan tuhan.

Tuhan benar-benar maha adil. Syukuri saja apa yang ia beri :)

Kamis, 27 Maret 2014

Tamu Tak Diundang


"Harga motor cowok berapaan ya?" tanyaku pada penghuni kamar kost malam tadi.

"Kayaknya sih belasan juta, iya bukan?"

"Eh, tapi ada juga yang empat puluh sembilan juta," jawab oknum W.

Seketika hati ini runtuh menjadi serpihan. Duh, mana mungkin saya punya uang sebanyak itu. Apakah harus jual motor, laptop? Saya baru ingat, itu bukan milik saya sepenuhnya. Apakah saya harus menjual semua perhiasan yang saya punya? Hanya itu harta yang saya punya, juga harga diri. *berasa emak-emak*

Saya tidak menyangka bahwa gerbang yang tadi sore terbuka tidak seperti biasa, merupakan pertanda akan tindak kriminal. Saya pikir, ada seseorang yang sedang menerima tamu lantas membiarkan gerbang terbuka secara tidak wajar. Saya tidak pernah menyangka bahwa tamu itu ternyata maling.

Malam tadi, seusai makan bersama dengan adik, tiba-tiba sebuah nomor asing memanggil. Nomor telepon rumah. Meski curiga, saya mengangkatnya. Siapa tahu itu dari seseorang di YKAKI yang tadi siang sempat saya wawancarai, karena ingin menanyakan sesuatu.

Ternyata itu dari sekretaris kantor saya.

"Halo Tiya, Ini xxx. Kamu tadi waktu pulang, gerbang kamu tutup lagi nggak?" tanyanya.

Sontak, jantung saya (seperti) berhenti sesaat. Saya tahu ada hal buruk terjadi. Kemungkinannya hanya satu, kemalingan. Barang yang dimaling juga satu kemungkinannya, motor. Membayangkan yang sore tadi saya lakukan dan saya putuskan, rasa sesal muncul. Duh, kenapa ya, gerbangnya tidak ditutup saja. Seharusnya, meski aneh, saya tetap melakukan prosedur normal.

"Enggak mbak. Tadi kubiarkan saja." jawabku, lemas. Tapi tentu saja aku menambahkan detil cerita. "Soalnya sebelumnya gerbangnya terbuka di tengah. Kupikir ada yang sengaja membuka, atau ada yang sedang menerima tamu,"

Dan ba bi bu, percakapan berlangsung selama beberapa menit. Saya menjelaskan ini itu. Dari percakapan itu, saya tahu bahwa salah seorang wartawan di kantor telah kehilangan motornya. Motor cowok, bukan motor bebek.

Pikiran saya pun melanglang ke mana-mana. Menyusuri jejak waktu menuju masa lalu dan melayang membayangkan apa yang akan terjadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kronologinya?

Pertama. Kapan terjadinya kasus itu. Apakah sebelum saya pulang, atau sesudah saya pulang? Pasalnya kalau kejadiaan nahas itu terjadi setelah saya pulang, saya adalah orang yang harus disalahkan dan menanggung semuanya karena alpa menutup pintu gerbang.

Saya pun mereka-reka posisi motor di kantor. Saya ingat benar posisi motor ketika saya pulang, ada satu motor cowok persis di depan motor saya. Jika motor itu hilang, saya patut disalahkan.

Tapi saya juga ingat, ketika usai liputan sekitar pukul 2 siang, di lokasi itu sebelumnya ada tiga motor. Motor saya, dan dua motor nonbebek lain. Anehnya, ada satu motor yang sudah menghilang ketika saya pulang, entah dibawa pulang si empunya atau dicomot maling. Saya tidak tahu.

Motor mana yang diambil? Malam itu saya puyeng dan lemas memikirkannya. Terlepas dari rasa sedih saya karena ada rekan kerja yang telah kehilangan motor.

"Kamu aja puyeng, gimana coba yang kehilangan motor, pasti dia lebih puyeng," komentar salah satu penghuni kamar malam tadi.

Dan pagi tadi, saya langsung menanyakan semuanya pada orang-orang di kantor, sejelas mungkin. Beruntung mas-mas OB berinisial A ada di lokasi parkir motor. Saya pun menanyakan detil kejadian.

Ternyata motor yang hilang bukan motor di depan motor saya, yang notabenya motor mas A. Asumsi waktu kejadian pun semakin sempit, yakni antara kepulangan saya dan orang sebelum saya, yakni Kepala Kantor. Padahal, selang itu hanya beberapa menit saja, antara pukul 18.05 hingga sebelum pukul 18.30.

Dua motor rusak kontaknya, dicongkel. Praduga kami, maling itu mencoba mencongkel dua motor itu sebelum akhirnya beralih ke motor wartawan A yang lebih baru dan gres.

Kita memang tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Tak ada salahnya jika melakukan tindakan pencegahan, meski akan terkesan lebay. Menurut saya, tak apa lebay, asalkan orang-orang yang berhati kelam itu tidak bisa melampiaskan kekelaman hatinya.

Untungnya lagi, motor si A sudah diasuransikan.

Kira-kira, apa yang terjadi kalau saat itu saya menutup pintu gerbang?
Waktu kejadian akan semakin sulit ditebak, saya rasa.



Selasa, 25 Maret 2014

Pura-Pura Melarat

"Iya, ke kantor naik motor aja. Kan bensin yg dikeluarin juga nggak seberapa, cuma sedikit," ujar mbak kost pagi tadi, menanggapi ucapanku sebelumnya.

"Aku ke kantor naik sepeda bukan karena biar irit bensin mbak, tapi biar sekalian olahraga,"

"oh iya. Benar juga ya," jawabnya lagi.

Saya akui, saya memang terkadang bertingkah seperti orang melarat.

Setiap Senin dan Kamis, saya sering puasa. Lalu hari Selasa, Rabu, dan Jumat saya biasa mengendarai sepeda ke kantor. Saya kerap membawa bekal makan sendiri. Kalaupun membeli makan di luar, saya hanya mau tempe, tahu, dan terkadang ikan atau telur.

Tidak pernah membeli ayam? Ya.

Bukankah saya terlihat seperti orang yang sangat kere? Bahkan buruh pun sesekali makan dengan daging ayam. Sedang saya, seringnya hanya melahap tahu atau tempe.

Sebenarnya uang saya lebih dari cukup untuk membeli ayam atau daging merah. Tapi saya memang memutuskan untuk mengurangi protein hewani, lebih memilih protein nabati, untuk alasan kesehatan. Kalaupun protein hewani, saya lebih memilih ikan laut.Terkadang saya makan daging kambing atau sapi. Terkadang juga saya makan daging ayam, hanya ayam kampung.

Saya diberi sepeda motor oleh orangtua. Tapi saya lebih memilih bersepeda ke kantor. Alasannya? Lagi-lagi kesehatan.

Mungkin akan banyak orang yang berkomentar. "Ah ribet amat sih, mau sehat aja kok susah."

Saya sih, tidak akan menyalahkan anggapan itu. Pasalnya memang banyak orang tidak tahu, bahwa sehat terkadang tidak mudah, bahwa terkadang sehat itu tidak selamanya hidup enak.

Garam dan gula. Siapa yang tahu kalau dua zat yang umum ditambahkan ke dalam masakan itu dapat menimbulkan bahaya jika dikonsumsi berlebih? Diabetes, obesitas, darah tinggi, dan percepatan penuaan.

Siapa yang tahu bahwa duduk sepanjang hari, yang terasa nyaman dan santai, memperbesar peluang cacat dan penyakit di kala usia menginjak senja.

Siapa yang tahu bahwa makanan yang terasa nikmat--seperti gorengan, mi instan, burger, pizza, ayam goreng--ternyata dapat meningkatkan kolesterol atau menyebabkan pengapuran pembuluh darah.

Siapa yang tahu? Siapa yang peduli? Kalaupun tah, makan enak dan hidup nyaman tentu lebih penting.
Pantas saja banyak orang masa kini yang terserang penyakit jantung, penyakit yang dulu hanya diderita orang-orang kaya saja.

Pantas saja kini diabetes menjamur, orang tak lagi peduli jumlah asupan kalori yang masuk atau keluar. Yang penting hidup nyaman.

Salah seorang kawan memposting foto. Dalam foto itu ia sedang meikmati semangkuk es krim yang membumbung tinggi. Kata ia, "sehat itu adalah ketika kamu bisa makan apa saja yang kamu mau."

Dalam hati saya melengos. Juga tertawa.

Iya, bisa makan apa saja memang indikator bahwa tubuh kita sehat dan berfungsi sebagaimana mestinya. Tapi kalau terus menuruti selera, suatu saat tubuh akan kehilangan kemampuan mendetoksifikasi diri, racun akan menumpuk, dan akhirnya kita tak bisa lagi meraup segala yang kita inginkan.

Batasi diri sekarang juga, sebelum suatu saat penyakit membatasimu. Itu yang saya pelajari selama menulis berbagai artikel keaehatan di detikHealth.

Senin, 24 Maret 2014

Mengapa Saya?


Membuka percakapan di layar kaca, entah via Facebook, Whats App, atau pesan singkat, terkadang tiba-tiba hati saya melengos.

"Kamu tolong ini ya...."
"Oh iya, ini juga belum. Kamu bisa kan?"
"Si ini nggak bisa soalnya lagi gitu..."

Saya terbiasa mengabdi sepenuh hati. Memberikan segala yang saya punya pada sesuatu yang kepadanya, saya tambatkan kepercayaan dan hati saya. Saya rela melakukan ini dan itu, segalanya.

Sayangnya, tak semua orang memiliki pemikiran seperti itu. Bahkan terkadang cenderung ber-aku-aku.
"Tapi aku tidak mau,"
"Aku bisa tapi..."
"Aku enggan soalnya begini,"
"Aku sedang ini jadi ini,"

Hingga terkadang saya kerap berpikir, Mengapa saya? Mengapa saya yang harus melakukannya? Di mana yang lain?

Mungkin ketika level kadar hormon sedang stabil, saya akan kalem, mengerjakan semua hal berat itu dengan tawa atau canda, sembari sesekali "berpolah". Namun terkadang, ada luapan emosi yang ada tak dapat terbendung. Belum lagi ditambah kelelahan usai perjalanan panjang, beban kewajiban diri sendiri, dan ditambah beban dari orang yang menolak, atau berhalangan hadir.

Saya rasa, tidak ada salahnya mengutarakan segala kesebalan yang ada di pikiran. Daripada terus menumpuk, membusuk, dan memicu penyakit. Mengomel, mencak-mencak, menggerutu, bukan selamanya hal negatif.

Orang butuh mengeluarkan kotoran dari dalam tubuh, melalui keringat, urin, dan feses. Begitu pula kotoran dalam hati, entah apa cara yang dipilih. Mungkin dengan doa, ibadah, bersih-bersih, mengomel, atau menulis.

Yang jelas, setiap orang punya cara masing-masing.

NB: Sedang berada di titik nadir. Teringat beberapa tahun lalu ketika saya disalahkan karena tidak hadir pada hari pertama dalam acara yang berlangsung selama dua hari. Saya berusaha datang di hari kedua, meski orangtua meminta saya tinggal. Dan setibanya di sana, setelah acara usai, saya justru seolah disidang. Padahal, saya bukan satu-satunya orang yang tidak hadir, ada beberapa yang lain. Ingatan itu, saya cuma ingin membuangnya, daripada menjadi kotoran di dalam hati.

Selamat tinggal.

Selasa, 18 Maret 2014

Trade Off


Kemarin pagi, saya berbincang-bincang dengan Bapak. Seputar kolam ikan yang sedang dibuat, tentang masa kerja kelak, dan tentang masa magang ini.

Di saat anak-anak lain memilih untuk magang di KAP (Kantor Akuntan Publik), KKP (Kantor Konsultan Pajak), dan berbagai perusahaan keuangan lain, saya justru memilih untuk megang di salah satu media online. Alasannya simple, mengejar passion sebelum besok harus benar-benar bekerja sebagai PNS di bidang keuangan.

"Anak teman bapak yang dari Pengasih magang di KAP di Jakarta. Gajinya per bulan 2,8 juta," tutur Bapak.

"Kalau di Jakarta, apalagi di perusahaan keuangan memang sekitar segitu Pak. Tapi ya, bakal lupa sama rumah. Jarang pulang. Keasikan kerja atau keasikan dapat uang banyak,"

"Iya. Memang jarang pulang. Seperti sudah kerja beneran. Padahal kan, besok kalau sudah kerja juga bakal jarang bisa pulang,"

Memang asik kerja di tempat semacam itu. Pergi ke berbagai daerah untuk melakukan pemeriksaan keuangan, sesekali sambil berjalan-jalan atau menikmati kuliner setempat. Jujur, saya juga ingin berjalan-jalan seperti itu.

Tapi memang selalu ada trade off, selalu ada pertukaran antara kesenangan yang satu dengan kesenangan yang lain. Dibanding kesenangan gaji yang lebih besar atau kesenangan melancong ke berbagai penjuru, saya lebih memilih quality time bersama keluarga dan teman-teman di kampung halaman. Saya lebih memilih momen-momen yang dulu tidak saya dapatkan semasa kuliah, atau kelak ketika sudah mengabdi pada negara.

Saya memilih magang di Jogja, meski dengan bayaran tak seberapa. Yang jelas, tiap jumat malam saya bisa pulang ke rumah, menikmati waktu 4 hari 3 malam bersama keluarga. Mencicipi masakan ibu, berbincang ngalor ngidul dengan bapak, mengusili Hikma, mengantar Dina lomba, merawat para ikan, ayam, atau hamster, menjajal resep-resep baru, atau berjalan-jalan pagi di jembatan Progo tua.

Saya memilih untuk menikmati waktu senggang bersama teman-teman semasa SMA atau SMP. Menikmati aneka kuliner di Jogja, berjalan-jalan ke pantai nan elok di Gunung Kidul, menyambangi aneka pasar hewan untuk mencari ikan, menapakkan kaki di Hutan Pinus, atau sekadar berkunjung ke rumah teman lama.

Saya lebih memilih jalanan yang lebih lengang. Tak lebih dari lima belas menit untuk ke kantor dengan mengendarai sepeda motor. Tak lebih dari dua puluh lima menit untuk pulang dari kantor dengan mengendarai sepeda.

Saya lebih memilih untuk bersatai di malam atau pagi hari. Membaca novel, menyambangi toko buku kesayangan di bilangan Jalan Affandi sembari menyaksikan ikan koi yang montok, memasak sayur, menikmati kuliner malam, menonton film bersama kawan di kost, atau terkadang, tapi sangat jarang, belajar TKD.

Mungkin saya tidak mendapat gaji di atas UMR Jakarta, 2,2 juta, seperti anak-anak lain. Tapi saya mendapat semua kebahagiaan itu. Saya mendapat semua momen indah bersama teman dan keluarga. Saya tak lagi melewatkan saat-saat ngumpul, seperti dulu. Saya bisa mengunjungi tempat-tempat yang belum saya kunjungi di Jogja. Maka, nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?

Dan terlebih, tempat saya magang bukan tempat biasa dengan orang-orang biasa. Detik.com adalah media online nomer satu dengan orang-orang yang lebih darisekadar biasa. Amazing! :D



Selasa, 11 Maret 2014

Mendua


"Heran deh, kok bisa orang itu mengkhianati istrinya? Padahal mereka sudah hidup bersama selama bertahun-tahun. Membangun rumah tangga dari nol."

"Kok ada ya, orang setega itu?"

Begitulah komentar-komentar yang kerap diutarakan ketika menemui kasus perselingkuhan. Si terdakwa alias pelaku selingkuh dianggap jahat, tidah tahu diri, tidak berperikemanusiaan, pokoknya setara penghuni hotel prodeo. Cacian, makian, dan serapah pun dikeluarkan, berharap agar orang yang selingkuh mendapat ganjaran setimpal.

Dan sepertinya itu juga terjadi padaku. Bukan, bukan aku yang diselingkuhi. Akulah yang menyelingkuhi.

Ia adalah kekasih pertamaku di dunia maya. Jauh sebelum Facebook populer, jauh sebelum twitter muncul, aku telah lama menjalin hubungan dengan ia. Berbagai kisah kubeberkan, berbagai kenangan kuabadikan, dan berbagai prestasi kutorehkan bersamanya.

Ketika anak lain asik memilih foto-foto dan tulisan berwarna-warni untuk dijadikan penghias halaman Friendster, aku justru asik mencari-cari gambar bernuansa artistik. Ketika anak lain sibuk merangkai kata untuk dijadikan status di Facebook, aku asik berbincang dengannya. Ketika anak lain asik berkicau di Twitter, aku justru asik mempercantik penampilannya.

Ah tapi, ternyata aku sama saja dengan mereka, para pria yang menyelingkuhi istrinya, atau para istri yang menduakan suaminya. Aku tak tahan godaan, Aku adalah orang yang mudah mendua.

Tahun 2010, tak lama setelah upacara kelulusan SMA dihelat, aku berkenalan dengan si huruf F. Sejak lama teman-temanku telah berkenalan dengan si F, namun aku selalu menghindar karena tidak ingin aktivitasku terganggu. Tapi akhirnya aku berkenalan juga dengannya. Toh, ini kan agar aku tak kehilangan komunikasi dengan teman-temanku setelah kami berpisah nanti.

Dan tak lama, aku pun asik merangkai kata untuk diunggah sebagai status. Kadang alay, kadang labil, kadang juga puitis. Aku sadar, aku mulai menduakan ia meski terkadang masih menyempatkan diri bercakap dengannya.

Dua tahun berselang, aku mulai berkenalan dengan si burung ceriwis berwarna biru muda. Padahal, dulu aku menolak mati-matian berkenalan dengannya. Menganggap ocehan dengannya hanyalah kalimat dangkal, pendek, atau kalimat duplikat.

Tapi toh, tak lama kemudian aku semakin asik menjalin hubungan dengannya. Memang, lebih mudah untuk bercerita pada si T ini. Tak perlu paragraf padu nan indah, cukup satu kalimat pendek berkarakter 140 huruf. Jika malas menguntai kata, tinggal retweet saja kata-kata atau gagasan orang lain.

Aku mulai menigakan ia yang pertama.

Lalu aku berkenalan dengan Deviant Art, Google Plus, dan Tumblr. Aku lupa dengan siapa terlebih dahulu hubungan mulai kurajut. Mungkin, karena banyaknya hubungan yang kujalani. Kalau di dunia nyata, ini tak beda dengan seorang playboy atau play girl.

Untungnya ini tak sama dengan hubungan percintaan di dunia nyata. Meski di dunia maya menjalin ikatan dengan berbagai macam media sosial, di dunia nyata, aku hanyalah aku.

Maafkan aku rumahku. Sungguh aku ini tak tahu diri. Datang, pergi, lama tak kembali, dan kemudian datang lagi sesuka hati.