Sabtu, 21 Juni 2014

Lelaki Pencinta Buku


Katanya seseorang cenderung suka pada lawan jenis dengan kegemaran yang sama. 

Sama-sama suka membaca buku, misalnya, lalu saling suka gara-gara tak sengaja bersentuhan tangan ketika hendak mengambil buku yang sama. Sama-sama suka lihat bola dan kemudian jatuh cinta di malam-malam saat mereka nonton bola bersama. Sama-sama suka bulu tangkis dan rasa cinta tumbuh seiring pukulan-pukulan yang melambung meninggi. Atau sama-sama suka bermain drama lantas jatuh cinta ketika memerankan drama yang sama.

Tapi aku justru belum pernah satu kali pun naksir cowok yang suka membaca buku atau menulis.

Padahal, buku dan menulis adalah duniaku. Buku adalah satu-satunya dunia yang selalu sudi menerimaku kembali, meski ia pernah kutinggalkan hingga berapa lama, meski saat kembali padanya,  jiwaku tak selalu murni.

Penulis dengan sesama penulis, musikus dengan sesama musikus, fotografer dengan sesama fotografer. Bukankan itu terlihat manis? Berduet menciptakan karya, menghabiskan malam-malam bersama di studio yang sama, atau menorehkan nama besar di dunia yang sama.

Mungkin hukum fisika benar-benar berlaku padaku: dua kutub yang sama akan saling tolak-menolak dan dua kutub berbeda akan saling tarik-menarik.

Ini bukan berarti aku lantas benci orang yang suka membaca loh. Enggak kok, aku tetep suka. Suka banget malah. Bersama pergi ke toko buku, menghabiskan berjam-jam untuk membaca, saling mengabarkan buku-buku bagus yang baru saja dibaca, atau heboh mendiskusikan sebuah buku. Yah, hanya saja kedekatan yang terjalin antara aku dengan cowok pencinta buku—atau menulis—biasanya bukan dalam ranah romasa. (Meski kadang beberapa orang menyalahartikan kedekatan itu)

Kenapa? Aku juga tidak tahu. Mungkin karena hukum fisika.

Lelaki pertama, sebut saja begitu, bukan seorang yang menggemari buku. Pun menulis. Sejak kecil dunianya ada pada gambar dan lukisan yang ia torehkan pada selembar kertas atau kanvas. Entah berapa banyak piala yang telah ia raih sejak usianya masih dini. Pun ketika di SMA, ia termasuk 3 ilustrator kondang di sekolah dan kerap mendapat pujian dari guru seni rupa. *Ini bukan promosi*

Sisi manis darinya—ini baru kusadari beberapa waktu lalu—adalah memberikan sebuah buku sekaliber dan sekeren The Alchemist-nya Paulo Coelho padaku. Tanpa kusadari, ia memperkenalkanku padaku genre yang belum pernah kumasuki sebelumnya. (Yeah, sebelumnya aku hanya banyak membaca fiksi fantasi -_-)

Lalu, si Lelaki. Sebut saja begitu.

Ia sama sekali tak suka buku. Pernah suatu ketika aku mengajaknya ke toko buku. Ia terlihat sangat gelisah dan seolah ingin beranjak pergi. Baru kali itu aku melihat reaksi yang seperti itu.

“Kamu kok kayak gelisah begitu?” tanyaku padanya.
“Aku merasa terasing di sini. Merasa terintimidasi.”
Sontak aku tertawa, dan cengengesan mem-bully-nya. Tapi kuputuskan untuk mengenalkan sedikit keajaiban duniaku padanya. “Sebentar ya. Aku mau mendengarkan suara-suara buku yang memanggilku.”
“Memanggil? Bagaimana bisa? Bagaimana caranya?”
Aku menarik lengannya menuju sehamparan buku. “Sini. Begini caranya...” *trik ini rahasia*
Dan ia hanya tertawa.

Hal yang sama juga terjadi padaku ketika aku diajaknya menonton siaran bola kesukaannya. Dari HP. Oh itu mungkin saja karena aku melihatnya dari HP. Mungkin jika melihat dari layar televisi yang lebar, akan lain ceritanya.

Ada beberapa cowok lain yang sempat menarik perhatianku. Tapi mereka juga bukan pembaca buku atau penulis. Si itu adalah orang yang gemar main game, si itu adalah orang yang gemar mengutak-atik komputer, si itu adalah orang yang gemar bermain futsal, dan si itu adalah orang yang gemar bermusik.

Tapi mamas di gambar ilustrasi kok cakep ya >.< *OOT*

Kamis, 19 Juni 2014

Buku-buku yang Memanggil

Pernah enggak, merasa dipanggil oleh sebuah buku? Kamu nggak kenal buku itu, belum pernah mendengar orang lain ngomongin, dan kalau dilihat dari covernya, beuuuh, cover itu nggak-kamu-banget. Namun, entah mengapa, kamu tiba-tiba merasa terpanggil untuk membelinya. Aneh bukan?

Aku pernah.

Ada beberapa buku asing yang memanggilku. Sebelumnya aku nggak pernah baca ulasan tentang buku itu, tak pernah mendengar teman menceritakannya, juga tak direkomendasikan oleh siapa pun. Ketika berjalan-jalan di toko buku atau pameran, well, tiba-tiba saja buku itu memanggil.

"Hei, sobat. Aku tak setenar Harry Potter, Lord of The Ring, atau Supernova. Tapi kau tak akan menyesal membeliku." Mungkin begitu yang akan ia ucapkan kalau bisa berbicara.

Menjawab rasa heranku, seorang teman bilang, kita biasanya akan terpanggil oleh buku yang berfrekuensi sama dengan jiwa kita.

Kadang aku bersyukur karena lebih sering menggunakan panggilan-panggilan jiwa buku ketimbang rutin membaca sinopsis. Bisa dibayangkan, kalau rajin kepo di Goodreads atau blog resensi buku, pasti aku bakal kalap beli buku karena mengira semua buku itu bagus. Bagaimana pun juga, opini si resensor akan memengaruhi, kan?

Buku pertama yang memanggilku dengan kuatnya adalah Bartimaeus Trilogy: Amulet of Samarkand. Buku ini covernya sangat iuuh, bergambar makhluk seram yang sama sekali nggak imut, bukan-gue-banget lah kalau istilah anak muda zaman sekarang. Dan setelah dibaca, aku benar-benar tenggelam ke dalamnya dan cinta mati sama karakternya. Aku pun membeli buku kedua, ketiga, dan bahkan sekuelnya. Well, hanya sedikit teman yang tahu tentang Bartimaeus ini, di antaranya adalah Santi, yang tertarik stelah kupinjami, dan Pandu yang tiba-tiba nyaut ketika aku update status di FB. Dan Khabib.

Imut-imut, eh?

Yang kedua adalah Existere karya Sinta Yudisia. Sebelumnya, seperti apa itu Existere atau siapa Sinta Yudisia, aku belum pernah tahu (oke, mungin aku terlalu kuper). Tapi, wah, setelah membacanya, kepuasan tiada tara menyelimuti perasaan dan pikiran ini! Benar-benar membuka mata. Genre buku ini juga sangat berbeda dengan buku-buku yang sering kubeli loh.



Yang ketiga ialah Ring of Fire, sebuah catatan perjalanan dua orang asing di pedalaman-pedalaman Indonesia. Aku juga belum pernah dengar tentang buku itu--meski ternyata perjalanan dua orang asing itu telah difilmkan di BBC. Saat melihatnya di pameran, tiba-tiba buku itu memanggil agar aku menghampiri. Dan aku pun membelinya. Lagi-lagi, genre buku ini juga tidak sama dengan dua buku di atas.



Yang terakhir, Manusia Langit. Entah apa yang memanggil--cerita atau harga--aku pun membelinya. Dan, wao, banyak hal yang kupelajari dari buku itu. Budaya. Antropologi. Meski, yah, endingnya agak dipaksakan.



Jangan takut makan enak. Buku ini buku kesehatan. Hehe. Covernya juga biasa saja: hijau polos dengan tulisan JANGAN TAKUT MAKAN ENAK besar-besar. Tapi sukaaa banget bacanya.



Pernah mendengar keempat buku tadi? Yah, memang tidak terlalu terkenal sih... (Atau mungkin aku yang cupu karena setengah-setengah cari informasi, hehe)

Selain empat buku tadi, ada juga beberapa buku lain yang memanggil saya tapi tak terdengar terlalu kuat. Misalnya Skulduggery Pleasant, Kereta tidur (kumcer), 100 Resep Sederhana Orang-orang Bahagia, Balance Your Life Balance Your Hormon, Catatan Harian Seorang Mafia Pajak, Topi Selebar Langit (Terry Prachet), Amba, Wizard of Earthsea, City of Ember (sebelum difilmkan), Mitos dan Fakta Kesehatan, Beyond the Deepwoods, Knife, The Alchemist and The Angel,.... Ups, kalau disebutkan semua, bisa-bisa saya menyebutkan hampir semua koleksi novel di rak buku saya dong :p

Juga ada beberapa buku yang memanggil tapi saya urung membelinya hingga kini hanya sesal yang ada. Misalnya Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan), ini yang paling nyesek banget karena sekarang susah dicari.

Pernah nggak, merasa terpanggil oleh sebuah buku dan kemudian menyesal?
Pernah!

Sebenarnya lebih tepatnya saya merasa terpanggil oleh covernya. Waktu itu saya sedang berjalan-jalan di toko buku. Tiba-tiba pandangan saya diusik oleh peri di sebuah sampul buku. Cantik dan elegan! Itu selera saya banget, peri yang cantik dan misterius! Tapi saya tidak serta merta membelinya. Pada kesempatan lain, dengan tidak terlalu yakin, saya pun membelinya. Ah, ternyata saya kecewa. Frekuensi kami, saya dan buku itu, ternyata berbeda :(

Nah, mungkin pepatah bijak yang mengatakan "don't judge a book by its cover" itu memang perlu diingat setiap saat.

Kamis, 12 Juni 2014

Mitos

Yang namanya mitos, adalah sesuatu yang tidak ada tetapi diada-adakan. 

Misalnya, meludahi sumur bisa membuat bibir jadi sumbing. Itu katanya. Padahal, coba saja. Tidak akan bibirmu jadi sumbing hanya karena meludahi sumur. Ya, kan? 

Misalnya lagi, menduduki bantal bisa membuat pantat jadi bisul. Kalau dilihat dari ilmu kesehatan, engggak ada tuh mikroorganisme di bantal yang memicu bisulan. Nah lho. 

Yang tidak ada tapi diada-adakan. Itulah mitos.

Pernah dengar netralitas media? Ya, yang katanya media seharusnya tidak memihak dan bersikap netral. Itu juga cuma mitos. Menurut saya aja sih. Nggak ada yang namanya netralitas media.

Media, kalau itu memang benar media yang hidup, pasti ada kecenderungan ke mana arah pemberitaan. Bisa jadi kepentingan umum, kepentingan masyarakat, kepentingan mahasiswa, pemerintah, atau ilmu pengetahuan sekali pun.

Misalnya waktu kuliah. Ada dua pers di kampus, satu milik BEM, satu independen. Pers milik BEM ini tentu akan membuat berita-berita yang positif tentang BEM. Sedang yang satunya, dia berlaku sebagai watch dog alias pengamat. Kalau pemenrintahan BEM jelek, ya bilang jelek. Kalau bagus, ya bilang bagus. ralKalau jelek tapi bagus, ya bilang jelek tapi bagus. Beda sama yang satunya.

Nah, apakah pers kedua tadi netral? Enggak juga. Apakah dia independen? Enggak juga.

Konon pers kedua ini hidup karena dapat kucuran dana dari mahasiswa--meski banyak dari mahasiswa itu yang enggak sadar kalau mereka ikut mengucurkan dana. Nah, otomatis, ketika terjadi sebuah peristiwa, pers itu akan memihak pada kepentingan mahasiswa. Yang perlu diketahui mahasiswa, yang ingin diketahui mahasiswa, atau yang berguna bagi mahasiswa.

Tapi, karena ranahnya mahasiswa, maka bagi para mahasiswa di kampus saya, pers kedua terlihat lebih netral. Ya karena mahasiswa itu mayoritas dan pemegang kekuasaan itu cuma segelintir orang saja. Pers yang memihak pada mereka akan terlihat seolah netral. Lain halnya dengan pers yang memihak pada kekuasaan tertentu. Karena yang dipilihnya adalah minoritas, maka terlihat seolah tidak netral.

Masalah perspektif saja, sebenarnya.

Eh, tapi, ini bukan tentang kepenulisan lho... Misalnya agar suatu berita terlihat netral, harus dibuat dari dua sisi berbeda. Bukan! Ini tentang kecondongan pemberitaan media itu. 

Sudah ah, meracaunya. Ini semakin enggak jelas saja.

Sabtu, 07 Juni 2014

Jalan Memutar


Dulu, ketika membaca Perahu Kertas-nya Dee, aku belum paham benar kegalauan yang dirasakan Kugy. Kini, aku mulai paham. Sedikit.

Setiap penulis punya jenis tulisan yang disukainya. Mungkin fiksi, fiksi fantasi, science fiction, nonfiksi, atau sastra. Kugy suka dongeng dan ia ingin jadi penulis dongeng anak. Sayangnya, dongeng anak kurang laku di dunia Perahu Kertas. Itulah mengapa Kugy galau bukan main. Dia sempat beralih menulis cerita-cerita cinta di majalah, sampai kritikan dari Keenan menyadarkannya. Bagus, tapi seperti nggak hidup.

Dan, sepertinya itu juga terjadi di dunia nyata. Aku jadi curiga kalau itu sebenarnya bentuk kritikan Dee terhadap dunia percetakan di Indonesia.

“Penerbit itu jualan, kan?” Begitu kata CEO salah satu penerbit mayor di Indonesia.

Makannya penerbit pasti hanya menerima naskah-naskah yang kira-kira diminati pasar saja. Untuk fiksi,  yang diminati adalah novel-nove bertemakan romance. Yang ringan, tentu saja. Ini khusus untuk penulis pemula lho. Soalnya, kalau penulis besar, sepelik apa pun judul yang ia sodorkan, akan ada orang-orang yang terlanjur jatuh cinta pada karyanya. Serumit apa pun judulnya, akan ada orang-orang yang terlalu sayang untuk melewatkan.

Aku menyayangkan minimnya minat pembaca Indonesia terhadap buku-buku sastra.

Sejak SMP, aku terlanjur mencekoki diriku sendiri dengan fiksi-fiksi terjemahan. Waktu itu, tak kukenal siapa itu NH Dini atau Marah Rusli. Yang kukenal malah JK Rowling, RL Stine, Tolkien, Eva Ibbotson, Road Dahl, Sir Arthur Conan Doyle, Terry Prachet, Ursula K Leguin, dan sebangsanya. (Maka beruntunglah mereka yang sudah mengenal NH Dini sejak SMP)

Waktu itu, aku menganggap, kebanyakan buku remaja terlalu ringan untuk kubaca, kurang menantang, dan kurang imajinatif. Yeah, aku tahu ini salah.

Makannya sejak kuliah, tepatnya ketika memasuki semester empat, aku mulai membuka kesempatan pada karya-karya Indonesia. Aku mulai membaca buku-buku Indonesia. Supernova adalah novel pertama yang berhasil mencuri hatiku.

Bagiku, novel fiksi yang keren adalah yang bisa memancingku untuk berpikir, bertanya-tanya, atau menebak apa maksud si pengarang. Dan itu kutemui pada novel-novel sastra. Ada sesuatu yang misterius, disembunyikan, dan aku suka ketika berhasil menemukannya. 

Bagiku, sastra memberi kebebasan bagi penulis untuk mengutarakan isi kepala tanpa harus terlalu lugas. Bagiku, sastra adalah teman yang mau mendengarkan segala keluh kesahku, tanpa orang lain harus tahu apa arti sebenarnya.

Maka, ketika sastra adalah sesuatu yang kurang diminati di pasaran, dan kamu sangat ingin terlibat di dalamnya, pilihlah jalan berputar. Besarkan namamu sembari menggodok kemampuanmu. Setelah namamu besar, keluarkan apa yang telah kau godok selama bertahun-tahun.

Voila!

Selamat berjuang, temanku, Ranger Cyan! Juga Ranger Kuning!