Saat berjalan melewati persimpangan di dekat lapangan
itu, aku masih saja sering salah melangkah. Kakiku salah menuntun ku berbelok ke
arah barat, sepertinya ada sesuatu dalam kepalaku yang mengendalikan kakiku
untuk berbelok ke sana, ke arah kosku yang lama. Namun dalam sekejap instingku
menyadarinya, aku melangkah ke arah yang salah. Dan segera kubelokkan langkah
kakiku dengan gontai.
Aku masih menyayangi rumahku yang lama.
Berat bagiku maupun bagi teman-temanku untuk meninggalkan
rumah itu. Rumah dimana kami tinggal bersama, bernaung, dan menghabiskan waktu
bersama di ranah perantauan yang kurang ramah ini. Sebuah rumah mungil dua
lantai dengan 2 kamar permanen dan 1 kamar tambahan. Kecil memang, namun terasa
amat nyaman untuk ditinggali. Walaupun terkadang agak berantakan karena ulah si
Nenek (kucing hitam yang sering bermain ke rumah kami. Bermain sampah.) namun
kami membuatnya senyaman mungkin.
******
Awal kedatanganku ke rumah itu, semuanya tampak
mengerikan. Ya, mengerikan. Lantai yang kotor oleh air yang mengering sisa-sisa
hujan semasa liburan, barang-barang yang berserakan, dan dapur kotor dengan
ribuan barang usang. Mengerikan. Namun itu bukan suatu halangan bagi kami untuk
tinggal di rumah itu dengan nyaman.
Ayahku masuk ke dalam rumah itu dan seketika ia pusing.
Nenekku melihat keadaan di ruang keluarga, dan seketika ia seolah meremehkan
“apa ada orang yang mau tinggal di tempat seperti ini?”. Ibuku masuk dan
terkejut, ia tidak bisa berkata apa-apa.
Rumah itu kecil tapi manis, hanya perlu sedikit polesan
untuk menghilangkan kesan mengerikan itu. Segera kami membereskan rumah itu,
tempat pertama yang kami tuju adalah dapur. Kami mencuci perabot-perabot kotor
yang parahnyan berisi benda yang sudah membusuk, kami memilah-milah mana yang
masih bisa dipakai dan mana yang tidak, kami meletakkan peralatan yang masih
sering di pakai pada rak, kami memasukkan barang yang tidak di pakai ke dalam
kabinet, kami membersihkan lantai dan dinding dapur yang penuh noda membandel,
kami membersihkan wastafel yang kumuh dan kotor. Dan akhirnya, semua menjadi
berkuilau. Persis seperti dapur sebuah rumah mungil yang nyaman.
Namun itu baru satu bagian saja, masih banyak bagian yang
lain. Kami membersihkan kulkas yang penuh dengan barang-barang berbau tidak
sedap. Kami membersihkan ruang keluarga yang penuh dengan buku-buku dan
barang-barang tidak terpakai. Kami membersihkan ruang cuci yang penuh dengan
bungkus detergen kosong. Kami membersihkan kamar mandi yang penuh botol shampo,
bungkus pasta gigi, sikat gigi yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan,
sabun batangan yang mengering, dan bungkus shampo saset, yang entah sudah
berapa tahun berada di sana. Kami membersihkan tangga yang penuh dengan debu
tebal menahun pada bagian pagarnya. kami membersihkan kamar kami masing-masing.
Kami membersihkan teras dengan rak sepatu yang penuh sesak dengan sepatu-sepatu
peninggalan kakak tingkat kami, yang entah sudah berapa tahun.
Dan akhirnya, semua menjadi lebih nyaman. Dari waktu ke
waktu, seiring dengan berkurangnya jumlah barang-barang tidak terpakai di rumah
kami, keadaan menjadi lebih nyaman dan lapang. Benar-benar rumah mungil yang
menyenangkan. Atap yang bocor pun sudah diperbaiki, dan kami tidak perlu
repot-repot mengambil ember, mengelap lantai, atau mengeringkan lantai dengan
kipas angin lagi setiap hujan usai turun.
Ruangan favorit kami adalah ruang tengah atau yang biasa
disebut dengan ruang keluarga. Kami biasa berkumpul disana, bercerita, bersenda
gurau, makan bersama sambil menonton televisi, belajar bersama (dengan televisi
yang masih menyala), atau bahkan hanya sekedar berbaring dan berguling-guling
tidak jelas.
Ada pertemuan dan ada perpisahan.
Sepertinya keputusan menteri keuangan untuk tidak
menerima mahasiswa D3 tahun ini membawa perubahan yang besar bagi kami semua.
Organisasi-organisasi ribut dan bingung membicarakan kaderisasi, banyak kos
yang mendadak kosong, dan suasana terasa lebih lengang, sepi. Tidak ada gegap
gempita penyambutan mahasiswa baru, atau setidaknya, belum. Tidak ada
wajah-wajah baru yang polos, yang membutuhkan bimbingan dan petunjuk, atau
setidaknya, belum. Ada sesuatu yang kosong dan kurang dalam kehidupan kami
sekarang.
Kekosongan itulah yang menyebabkan kami harus pindah ke
rumah lain. Kekosongan itulah yang menyebabkan ibu kos memutuskan hal itu, kami
harus pindah dengan segera agar nilai guna bangunan tidak terbuang sia-sia.
Dan apa yang akan terjadi kelak? Bagaimana nantinya
kehidupan kami di rumah baru ini?
Aku belum tahu.
Yang jelas, keterbatasan tidak akan membuat kami menyerah begitu saja.Keterbatasan membuat kami lebih kreatif dalam menghadapi segalanya.Keterbatasan bukan untuk disesali, namun untuk diusahakan jalan keluarnya.
0 komentar:
Posting Komentar