Pernahkah kamu merasa, tiba-tiba tertarik masuk ke dalam
sebuh kisah dan seolah dipaksa menjadi tokoh utama? Kamu senang bukan main, seolah mendapat
sebuah kepercayaan yang mulia tiada tara. Namun semakin kamu menjalaninya,
semakin kamu tersadar: kamu bukanlah tokoh utama dalam kisah itu.
Aku hanyalah pameo. Kau? entah apa.
Keberadaanku, pada awalnya laksana sekuntum krisan –sederhana
dan mungkin sedikit tidak tampak— seorang diri di tepi jalan. Dan kemudia aku
bertemu denganmu, awan pengelanan yang selalu menebarkan butiran sinar dari
senyummu. Kau sama sepertiku, seorang diri dan kesepian karena sebagian hatimu
telah direnggut cinta. Kau dan aku tahu,
ada semacam ikatan takdir yang memang telak ditorehkan pada halaman-halaman
buku Tuhan. Kita mengetahui itu melalui senyuman dan tatapan masing-masing.
Melalui matanmu, aku dapat melihat planet jingga tempat dimana aku berasal. Melalui
pancaran mataku, kau dapat menyelami kembali laut biru yang telah lama kau
tinggalkan. Melalui senyummu, aku dapat melihat bata-bata kebahagiaan yang kelak
kan menjadi pondasi rumah singgah perjalanan. Melalui senyumku, genggaman
tanganmu mengokoh hingga dapat menangkap kembali harapan-harapannya yang dulu
sempat tertiup angin.
Kau dan aku, kita sama-sama tahu itu. Namun kau dan aku
sama-sama enggan mengakuinya. Terlalu malu, naïf, atau mungkin takut dianggap terlalu percaya diri.
Tak penting bagaimana kisah ini berjalan. Pada akhirnya,
kita tak pernah tahu, ke dalam lembaran cerita siapa tanpa sengaja kita masuk. Bahkan,
cerita yang kau kira rumahmu, mungkin saja milik orang lain. Mungkin pada
awalnya aku mengira ini kisahku, denganmu. Begitu pula engkau. Tetapi kisah
kita terus berlompatan— laksana electron padalapisan kulit atom— mencari
keseimbangan.
Pernahkah kau masuk ke dalam sebuah cerita, begitu indahnya
hingga kau merasa itu adalah sebuah mimpi? Aku sering.
Kisah ini terlalu indah hingga aku menyadari kejanggalannya, kisah ini tidak mungkin kisahku. Pada akhirnya aku hanyalah pameo dalam kisahmu. Mungkin aku
tak seperti malaikat –penenang dalam mimpi-mimpi kelammumu— yang hatinya selalu
diliputi sinar putih lembut. Mungkin aku juga tak seindah padang-padang bunga
di negeri asing yang pernah kau jelajahi. Apalagi jika dibandingkan dengan
rembulan yang kau kagumi.
Perjumpaanmu dengan rembulan malam itu, menyadarkanku akan
peranku dalam kisah ini. Kisahmu, tentu saja. Bukan kisah kita. Atau mungkin
kisah adalah sebuah besaran relative yang dalpat berubah-ubah sesuai kehendak
penulisnya? Bila ia suka, kisah ini menjadi kisah kita. Dan begitu melihat
tingkahku yang menyebalkan, lantas ia mengubah kisah ini menjadi kisahmu.
Caramu menatap rembulan malam itu, mengungatkanku akan
sebuah jalinan yang telah lama pudar. Mungkin Tuhan tahu benar makna
keberadaanku, pun aku: untuk membantumu
menemukan bagian bongkahan-bongkahan masa lalu yang tanpa sengaja telah kau
pecahkan. Agar kau dapat menapaki tangga itu dan bertemu rembulan.
Aku berjanji. Walau satu per satu kelopakku mengering lepas
terenggut oleh ketiadaan, sebelum konstalasi orion menjadi segaris dengan
Pecta, kita akan telah menemukan seluruh bongkahan itu dan menyusun tangga
untuk menggapai dirinya. Agar kau dapat melayang dan bersanding kembali bersama
rembulan, mengahalangi sinarnya yang indah agar bumi berada dalam bayaang-bayang
temaram yang meninabobokan.
0 komentar:
Posting Komentar