Selamat malam bintang.
Apa kabar? Tampaknya kau semakin bersinar terang, bergumul
bersama bintang lain, membentuk gugusan indah di samping Andromeda. Lama tak
bersua, pun aku bercerita padamu.
Malam ini aku hanya menyampaikan sebuah salam, dari kekasihmu,
Tetes.
Bintang, kau tahu? Tampaknya kekasih lamamu telah berada
pada fase dimana ia perlahan-lahan dapat melepas ketiadaanmu di sisinya. Kini
ia sedang mengudara, tinggi, hingga ke angkasa sana, mencapai awan. Di sana ia
bersemayam dan bersiap dalam ritual pengorbanan dirinya untuk kehijauan
planetnya.
Iya, melayang, seperti yang selalu diimpikannya selama ini.
Namun setinggi apapun ia melayang, tak akan sanggup melampaui ataupun menggapai
dirimu, Bintang. Sekuat apapun ia mentransformasikan partikel dirinya menjadi
gumpalan H2O, tubuhnya tidak akan sanggup menerpa panas atmosfer ketiadaan yang
menjadi pembatas kalian.
Ia mulai mengikhlaskanmu, Bintang. Seperti
harapanmu dulu.
Walau memang, butuh berjuta tahun bagi dirinya untuk menyuling segala partikel
itu dari dalam dirinya.
Perlahan, sesuai pesanmu, Ia sadar bahwa kini ia tidak akan
mungkin dapat bersama lagi denganmu. Karena kini kalian berdua terpisah semakin
jauh. Ia diangkasa sana, berkondensasi dengan tetes-tetes lain menunggu hingga
takdir meniupkan awan hitam untuk membawanya turun kembali ke pangkuan bumi. Sedang
kau, terus mengangkasa hingga hingga melampaui Andromeda, memancarkan kemilau
petunjuk dan harapan bagi wajah yang menengadah. Hanya di laut, tempat dimana
kalian berdua berasal, ia dapat bersama denganmu.
Terkadang ia merindukan aroma laut dimana ia berasal. Namun
entah kapan siklus hidup akan membawanya kembali ke tempat itu. Ia pun tidak
pernah tahu kemana takdir akan menitahkannya untuk turun, entah di belantara
kering sahara atau di pusat kegelapan Amoazon. Terkadang, ia mengunjungi laut
tempat dimana kalian berdua berasal, hanya dalam mimpinya.
Ia bercerita padaku.
Terkadang matanya enggan terbuka. Ia ingin memeluk mimpinya
lebih lama. Tak peduli betapa banyak titah siklus hidup yang diembannya, ia
mengurung dirinya dalam mimpi itu. Ia ingin sekali saja, dan untuk selamanya,
kembali ke tempat dimana ia berasal. Kembali ke satu-satunya tempat dimana ia
dapat berjumpa denganmu. Ia rindu laut itu, katanya.
Bintang, kapan kau kembali ke sana?
Tetes datang dan berkeluh kesah padaku. Terkadang partikel
debu itu datang menghampirinya, membuat sekujur tubuhnya sakit menahan perih.
Dan tanpa sadar partikel debu itu turut menusuk-nusuk kulit sanubarimu yang
setipis membran semipermeabel. Tapi Tetes tak bernah bermaksud membagi partikel
debu itu padamu. Hanya saja partikel debu itu terus mengikutinya mengangkasa,
sama-sama tertarik oleh medan magnetmu. Tentu saja, ia telah berusaha
menyingkirkannya, walau butuh berbulan-bulan untuk membuat parikel debu itu
menyubil menjadi bongkahan partikel pembentuk pelangi. Tapi tetap saja,
debudebu itu menempel semakin banyak, seiring dengan gravitasimu yang
membengkak sebesar massa tubuhmu. Kau tahu itu kan, Bintang? Menurutku, itu
bukan sepenuhnya kesalahan Tetes. Kau tahu itu kan?
Ah, sudahlah, itu hanyalah sepenggal kisah di masa lalu.
Kini, kita bertiga sama-sama telah berjalan melampaui waktu
dan tiba pada saat ini. Walau selalu terasa sulit baginya, Tetes tidak akan
pernah lagi mencoba membasahimu dengan rintik hujan yang ia buat. Aku yakin,
dalam hatinya, selalu terngiang pesan-pesanmu, pesan untuk mengikhlaskanmu.
Bintang, hanya sebuah salam yang kusampaikan darinya. Sebuah
salam sederhana, bukan salam penuh kecup mesra seperti salam-salam yang biasa
disampaikan oleh dua insan yang dirundung cinta. Hanya sebuah salam sederhana
yang dijalin dari temali rindu yang memerangkapnya.
Bintang. Semoga kau tetap bersinar di sana. Bersama yang
lain, membentuk gugusan di samping Andromeda.
0 komentar:
Posting Komentar