Sebut saja
namanya Mona. Ia adalah salah seorang kawan semasa olimpiade dulu, kawan seperjuangan
dan kawan berbagi ruang di Puri Artha dulu. Meski lebih muda, kawan yang satu
ini amat sangat berprestasi. Entah berapa piala dan medali yang telah ia gondol,
entah berapa kejuaraan yang ia menangkan.
Ia
langganan mengikuti olimpiade sains tingkat nasional, bukan hanya sekadar ikut
meramaikan seperti saya, ia langganan menyabet medali. Ia juga pernah mendapat
hadiah sebuah perjalanan ke negara tetangga sana karena memenangkan kompetisi
karya tulis ilmiah. Cantik, tinggi, percaya diri, dan yang terpenting ia
pintar, atau bahkan cerdas.
Entah
cerdas atau pintar, saya tak tahu. Karena sampai saat ini, hanya sedikit orang saya
labeli dengan predikat cerdas. Sedikit saja, namun banyak di antaranya adalah
anak ‘ndugal’ yang kerap diomeli para guru kesiswaan.
Si kawan
saya ini akan melangsungkan pernikahan, yang katanya dihelat Mei depan. Saya
ikut gembira mendengarnya *dan bertanya-tanya kapan giliran saya :p*
Terkadang saya
berpikir.
Si kawan
saya ini seolah begitu sempurna, begitu berprestasi, dan dilihat dari segi fisik, ia bisa dibilang rupawan. Mungkin putri Indonesia sekali pun tak akan sanggup menandingi si
kawan ini ketika mereka dihadapkan pada pertanyaan yang sama. (Tapi jelas si
kawan saya ini tidak akan ikut ajang semacam puteri atau miss Indonesia karena
ia memegang teguh aturan agamanya)
Sedangkan
di sisi lain, banyak orang yang tidak dianugerahi kesempurnaan macam dia. Terlahir
dengan penampilan biasa saja, dengan isi kepala pas-pasan, dan tanpa bakat
(atau sebenarnya hanya belum menemukan saja).
Mengapa
tuhan menciptakan perbedaan semacam itu? Bsnyak orang bilang, “Tuhan terkadang tidak adil” atau “takdir
memang kejam”. Mungkinkah saya akan membenarkan pernyataan itu?
Saya rasa
tidak. Tuhan Maha Adil. Ia menciptakan segala perbedaan, agar tercipta rasa mengagumi-dikagumi.
Saya mengagumi ia, ia dikagumi saya. Dia mungkin juga mengagumi seseorang,
entah siapa. Dan mungkin saja, ada seseorang, entah siapa, yang mengagumi saya.
Bukan tak
mungkin, lho, seseorang yang serba hebat atau serba wah, justru mengagumi
kehidupan orang lain yang serba biasa.
Si A
mengagumi si B karena ia mendulang kesuksesan dalam usaha, hidup bergelimang
harta, memiliki pasangan cantik nan rupawan, dan anak-anak yang selalu
membanggakan. Tapi entah mengapa, si B justru mengagumi A yang selalu bahagia
meski hidup sederhana, selalu “legowo”, selalu mensyukuri apa yang diberikan
tuhan.
Tuhan
benar-benar maha adil. Syukuri saja apa yang ia beri :)
0 komentar:
Posting Komentar