Sama-sama suka membaca buku, misalnya, lalu saling suka gara-gara
tak sengaja bersentuhan tangan ketika hendak mengambil buku yang sama.
Sama-sama suka lihat bola dan kemudian jatuh cinta di malam-malam saat mereka
nonton bola bersama. Sama-sama suka bulu tangkis dan rasa cinta tumbuh seiring
pukulan-pukulan yang melambung meninggi. Atau sama-sama suka bermain drama
lantas jatuh cinta ketika memerankan drama yang sama.
Tapi aku justru belum pernah satu kali pun naksir cowok yang
suka membaca buku atau menulis.
Padahal, buku dan menulis adalah duniaku. Buku adalah
satu-satunya dunia yang selalu sudi menerimaku kembali, meski ia pernah
kutinggalkan hingga berapa lama, meski saat kembali padanya, jiwaku tak selalu murni.
Penulis dengan sesama penulis, musikus dengan sesama
musikus, fotografer dengan sesama fotografer. Bukankan itu terlihat manis?
Berduet menciptakan karya, menghabiskan malam-malam bersama di studio yang
sama, atau menorehkan nama besar di dunia yang sama.
Mungkin hukum fisika benar-benar berlaku padaku: dua kutub
yang sama akan saling tolak-menolak dan dua kutub berbeda akan saling
tarik-menarik.
Ini bukan berarti aku lantas benci orang yang suka membaca
loh. Enggak kok, aku tetep suka. Suka banget malah. Bersama pergi ke toko buku,
menghabiskan berjam-jam untuk membaca, saling mengabarkan buku-buku bagus yang
baru saja dibaca, atau heboh mendiskusikan sebuah buku. Yah, hanya saja kedekatan
yang terjalin antara aku dengan cowok pencinta buku—atau menulis—biasanya bukan
dalam ranah romasa. (Meski kadang beberapa orang menyalahartikan kedekatan itu)
Kenapa? Aku juga tidak tahu. Mungkin karena hukum fisika.
Lelaki pertama, sebut saja begitu, bukan seorang yang
menggemari buku. Pun menulis. Sejak kecil dunianya ada pada gambar dan lukisan
yang ia torehkan pada selembar kertas atau kanvas. Entah berapa banyak piala
yang telah ia raih sejak usianya masih dini. Pun ketika di SMA, ia termasuk 3
ilustrator kondang di sekolah dan kerap mendapat pujian dari guru seni rupa.
*Ini bukan promosi*
Sisi manis darinya—ini baru kusadari beberapa waktu lalu—adalah
memberikan sebuah buku sekaliber dan sekeren The Alchemist-nya Paulo Coelho
padaku. Tanpa kusadari, ia memperkenalkanku padaku genre yang belum pernah
kumasuki sebelumnya. (Yeah, sebelumnya aku hanya banyak membaca fiksi fantasi
-_-)
Lalu, si Lelaki. Sebut saja begitu.
Ia sama sekali tak suka buku. Pernah suatu ketika aku
mengajaknya ke toko buku. Ia terlihat sangat gelisah dan seolah ingin beranjak
pergi. Baru kali itu aku melihat reaksi yang seperti itu.
“Kamu kok kayak gelisah begitu?” tanyaku padanya.
“Aku merasa terasing di sini. Merasa terintimidasi.”
Sontak aku tertawa, dan cengengesan mem-bully-nya. Tapi kuputuskan untuk mengenalkan sedikit keajaiban
duniaku padanya. “Sebentar ya. Aku mau mendengarkan suara-suara buku yang
memanggilku.”
“Memanggil? Bagaimana bisa? Bagaimana caranya?”
Aku menarik lengannya menuju sehamparan buku. “Sini. Begini
caranya...” *trik ini rahasia*
Dan ia hanya tertawa.
Hal yang sama juga terjadi padaku ketika aku diajaknya menonton
siaran bola kesukaannya. Dari HP. Oh itu mungkin saja karena aku melihatnya
dari HP. Mungkin jika melihat dari layar televisi yang lebar, akan lain
ceritanya.
Ada beberapa cowok lain yang sempat menarik perhatianku. Tapi
mereka juga bukan pembaca buku atau penulis. Si itu adalah orang yang gemar
main game, si itu adalah orang yang gemar mengutak-atik komputer, si itu adalah
orang yang gemar bermain futsal, dan si itu adalah orang yang gemar bermusik.
Tapi mamas di gambar ilustrasi kok cakep ya >.< *OOT*