Dulu, ketika membaca Perahu Kertas-nya Dee, aku belum paham
benar kegalauan yang dirasakan Kugy. Kini, aku mulai paham. Sedikit.
Setiap penulis punya jenis tulisan yang disukainya. Mungkin
fiksi, fiksi fantasi, science fiction, nonfiksi, atau sastra. Kugy suka dongeng
dan ia ingin jadi penulis dongeng anak. Sayangnya, dongeng anak kurang laku di
dunia Perahu Kertas. Itulah mengapa Kugy galau bukan main. Dia sempat beralih menulis cerita-cerita cinta di majalah, sampai kritikan dari Keenan menyadarkannya. Bagus, tapi seperti nggak hidup.
Dan, sepertinya itu juga terjadi di dunia nyata. Aku jadi
curiga kalau itu sebenarnya bentuk kritikan Dee terhadap dunia percetakan di
Indonesia.
“Penerbit itu jualan, kan?” Begitu kata CEO salah satu
penerbit mayor di Indonesia.
Makannya penerbit pasti hanya menerima naskah-naskah yang
kira-kira diminati pasar saja. Untuk fiksi, yang diminati adalah novel-nove bertemakan
romance. Yang ringan, tentu saja. Ini khusus untuk penulis pemula lho. Soalnya,
kalau penulis besar, sepelik apa pun judul yang ia sodorkan, akan ada
orang-orang yang terlanjur jatuh cinta pada karyanya. Serumit apa pun judulnya,
akan ada orang-orang yang terlalu sayang untuk melewatkan.
Aku menyayangkan minimnya minat pembaca Indonesia terhadap
buku-buku sastra.
Sejak SMP, aku terlanjur mencekoki diriku sendiri dengan
fiksi-fiksi terjemahan. Waktu itu, tak kukenal siapa itu NH Dini atau Marah
Rusli. Yang kukenal malah JK Rowling, RL Stine, Tolkien, Eva Ibbotson, Road
Dahl, Sir Arthur Conan Doyle, Terry Prachet, Ursula K Leguin, dan sebangsanya.
(Maka beruntunglah mereka yang sudah mengenal NH Dini sejak SMP)
Waktu itu, aku menganggap, kebanyakan buku remaja terlalu
ringan untuk kubaca, kurang menantang, dan kurang imajinatif. Yeah, aku tahu
ini salah.
Makannya sejak kuliah, tepatnya ketika memasuki semester
empat, aku mulai membuka kesempatan pada karya-karya Indonesia. Aku mulai
membaca buku-buku Indonesia. Supernova adalah novel pertama yang berhasil
mencuri hatiku.
Bagiku, novel fiksi yang keren adalah yang bisa memancingku untuk
berpikir, bertanya-tanya, atau menebak apa maksud si pengarang. Dan itu kutemui
pada novel-novel sastra. Ada sesuatu yang misterius, disembunyikan, dan aku
suka ketika berhasil menemukannya.
Bagiku, sastra memberi kebebasan bagi penulis untuk
mengutarakan isi kepala tanpa harus terlalu lugas. Bagiku, sastra adalah teman
yang mau mendengarkan segala keluh kesahku, tanpa orang lain harus tahu apa
arti sebenarnya.
Maka, ketika sastra adalah sesuatu yang kurang diminati di
pasaran, dan kamu sangat ingin terlibat di dalamnya, pilihlah jalan berputar. Besarkan
namamu sembari menggodok kemampuanmu. Setelah namamu besar, keluarkan apa yang
telah kau godok selama bertahun-tahun.
Voila!
Selamat berjuang, temanku, Ranger Cyan! Juga Ranger Kuning!
0 komentar:
Posting Komentar