“Ibu, ini natriumnya”. Kata pria itu sambil tersenyum dengan ramah.
Senyumnya, cara ia tersenyum, pembawaannya yang tenang dan santun
mengingatkanku pada sosok Pak Udin. Ia adalah guruku, guru terbaikku, atau
begitulah pemikiranku saat itu.
******
“Pak, boleh tidur ya?” tanyaku dengan lugas.
Innocent dan polos. Kala itu aku tidak pernah memikirkan konsekuensi atas apa yang aku
ucapkan atau apa yang aku perbuat. Aku juga tidak pernah takut pada apapun
selama aku merasa bahwa aku benar. Tak pernah terbesit sedikitpun dalam
pikiranku bahwa beliau akan marah karena permintaanku yang aneh. Pelajaran
masih berlangsung dan teman-teman masih sibuk mengerjakan soal Matematika.
“Kenapa?” tanyanya dengan sabar. Ia tahu dengan benar bagaimana cara
menghadapi siswa SD. Siswa SD adalah anak-anak yang sedang dalam masa
pembentukan karakter, jika ditempa dengan cara yang salah maka kelak akan
menjadi tongkat bengkok. “sudah selesai?” tambahnya lagi.
“Sudah dari tadi, Pak. Teman-teman lama” jawabku dengan malas. Berusaha
jujur namun tetap saja terdengar agak besar kepala bagi orang lain. Kala itu,
memang selalu seperti itu. Entah aku yang terlalu cepat, atau teman-temanku
yang terlalu lama.
“Ya ditunggu sampai mereka selesai lalu kita koreksi bersama-sama”
jawabnya, masih sambil tersenyum. Ia menyarankan sebuah solusi yang tidak
pernah aku sukai. Aku dengan pemikiranku yang masih dangkal, adalah anak yang
paling benci tanpa melakukan apapun.
“Kan lebih baik tidur, Pak. Daripada melakukan hal yang tidak berguna”