Sabtu, 07 Maret 2015

Rumor

Sejak dulu, membayangkan bagaimana menjadi orang dewasa selalu membuat pikiran saya campur aduk. Enggan karena konon menjadi orang dewasa tak semenyenangkan apa yang terlihat. Enggan karena menjadi dewasa mungkin akan kehilangan semangat dan keceriaan khas kanak-kanak. Enggan karena saya harus bertanggung jawab secara penuh untuk setiap hal yang saya perbuat. 


Namun, sungguh, di sisi lain saya juga penasaran bagaimana akan menjalaninya. Saya juga bertanya-tanya, mungkinkah saya dapat mempertahankan semangat kanak-kanak yang sedari dulu saya pertahankan?

Tapi menjadi dewasa memang tak semudah apa yang terlihat. Terlalu banyak desas-desus, kebencian, ketidakcocokan, sindiran, dan rumor yang mengudara dengan mudahnya. Bukankah sebagai orang dewasa seharusnya kita dapat mengendalikan diri dengan lebih baik? Kalaupun tak tertahankan, mengapa tak mengutarakannya secara langsung, dalam suasana yang lebih intim?

Memasuki bulan ke lima di kantor yang baru, ada banyak desas desus yang tak sengaja atau dengan sengaja saya dengar. Sebagian besar masuk telinga kiri lalu keluar telinga kanan. Saya merasa beruntung dengan anugerah ini: mudah melupakan rumor yang disebarkan orang lain. Yah, walaupun terkadang saya kesal karena saya juga mudah melupakan hal-hal penting lain.

Nah, ada juga rumor yang melekat begitu ketatnya dalam pikiran saya. Misalnya tentang pegawai A yang begini, pegawai B yang begitu, atau pegawai C yang selalu begini. Ah, kala mendengar mereka membicarakannya, hati saya bergolak. Sebagian penasaran dan ingin mendengarkan, sebagian menolak seolah rumor itu dapat merusak persepsi saya. Sayangnya, karena tak mau dianggap kuper dan kurang informasi, tak jarang saya ikut mendengarkan. 

Duh , Gusti, maafkan hambamu ini.

Saya yakin setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada yang begitu ramahnya namun ia kurang cakap dalam mengerjakan tugas. Ada yang handal dalam setiap pekerjaan namun mudah terdistraksi sehingga butuh berkonsentrasi kala mengerjakan sesuatu. Ada yang terlihat cuek dengan penampilan namun ia selalu luwes. Ada yang jalan cintanya tak begitu mulus sehingga ia kerap mengorbankan waktunya. Ada yang menjadi kesayangan namun ternyata ia didera masalah lain. Ada yang keluarganya tak harmonis sehingga pekerjaan di kantor menjadi pelampiasan. 

Saya juga yakin bahwa baik atau buruknya tabiat seseorang adalah hal yang bersifat relatif. Mereka yang mengerti tak akan dengan mudahnya mengecap seseorang sebagai orang bertabiat buruk dan orang lain sebagai orang yang bertabiat baik.

Bukankah setiap hal memiliki kausul?

Dalam drama yang baru-baru ini saya tonton, ada seorang penjahat berdarah dingin yang dengan kejamnya membunuh orang yang ia benci dan memanipulasinya sebagai kecelakaan. Tak hanya itu, ia bahkan membunuh setiap saksi yang membocorkan kejahatannya atau orang yang bisa saja mengungkap kejahatannya. Kejam bukan?

Namun ternyata, ia melakukannya lantaran rasa kecewa. Orang yang paling dicintainya meninggal karenakeserakahan orang lain. Dihujani rasa benci, ia lantas membunuh orang tersebut. Saat berasa dalam masa hukuman, dua orang lain yang juga dicintainya meninggal karena kelaparan dan kurang gizi. Bayangkan, betapa marah dan kesepiannya orang itu.

Begitu pula dalam hidup ini.

Tabiat tak menyenangkan seseorang bukan berarti orang itu sengaja melakukannya. Boleh jadi keadaan yang membentuknya, atau ketidakmujuran yang memaksanya. Bukankah begitu?

Ah, semoga saya dapat menjaga telinga dan bibir ini dari rumor yang dapat menjatuhkan orang lain.

3 komentar:

  1. ahh aku tahu drama apa itu. I hear your voice. Ohya, ngutip kata2 iklan "Menjadi orang dewasa tuh asik, tapi susah dijalani"

    BalasHapus