Minggu, 23 September 2012

Kau dan Rembulan


Pernahkah kamu merasa, tiba-tiba tertarik masuk ke dalam sebuh kisah dan seolah dipaksa menjadi tokoh utama?  Kamu senang bukan main, seolah mendapat sebuah kepercayaan yang mulia tiada tara. Namun semakin kamu menjalaninya, semakin kamu tersadar: kamu bukanlah tokoh utama dalam kisah itu.

Aku hanyalah pameo. Kau? entah apa. 


Keberadaanku, pada awalnya laksana sekuntum krisan –sederhana dan mungkin sedikit tidak tampak— seorang diri di tepi jalan. Dan kemudia aku bertemu denganmu, awan pengelanan yang selalu menebarkan butiran sinar dari senyummu. Kau sama sepertiku, seorang diri dan kesepian karena sebagian hatimu telah direnggut cinta. Kau dan aku  tahu, ada semacam ikatan takdir yang memang telak ditorehkan pada halaman-halaman buku Tuhan. Kita mengetahui itu melalui senyuman dan tatapan masing-masing. Melalui matanmu, aku dapat melihat planet jingga tempat dimana aku berasal. Melalui pancaran mataku, kau dapat menyelami kembali laut biru yang telah lama kau tinggalkan. Melalui senyummu, aku dapat melihat bata-bata kebahagiaan yang kelak kan menjadi pondasi rumah singgah perjalanan. Melalui senyumku, genggaman tanganmu mengokoh hingga dapat menangkap kembali harapan-harapannya yang dulu sempat tertiup angin.
Kau dan aku, kita sama-sama tahu itu. Namun kau dan aku sama-sama enggan mengakuinya. Terlalu malu, naïf, atau  mungkin takut dianggap terlalu percaya diri.

Tak penting bagaimana kisah ini berjalan. Pada akhirnya, kita tak pernah tahu, ke dalam lembaran cerita siapa tanpa sengaja kita masuk. Bahkan, cerita yang kau kira rumahmu, mungkin saja milik orang lain. Mungkin pada awalnya aku mengira ini kisahku, denganmu. Begitu pula engkau. Tetapi kisah kita terus berlompatan— laksana electron padalapisan kulit atom— mencari keseimbangan.

Pernahkah kau masuk ke dalam sebuah cerita, begitu indahnya hingga kau merasa itu adalah sebuah mimpi? Aku sering.

Kisah ini terlalu indah hingga aku menyadari kejanggalannya, kisah ini tidak mungkin kisahku. Pada akhirnya aku hanyalah pameo dalam kisahmu. Mungkin aku tak seperti malaikat –penenang dalam  mimpi-mimpi kelammumu— yang hatinya selalu diliputi sinar putih lembut. Mungkin aku juga tak seindah padang-padang bunga di negeri asing yang pernah kau jelajahi. Apalagi jika dibandingkan dengan rembulan yang kau kagumi.

Perjumpaanmu dengan rembulan malam itu, menyadarkanku akan peranku dalam kisah ini. Kisahmu, tentu saja. Bukan kisah kita. Atau mungkin kisah adalah sebuah besaran relative yang dalpat berubah-ubah sesuai kehendak penulisnya? Bila ia suka, kisah ini menjadi kisah kita. Dan begitu melihat tingkahku yang menyebalkan, lantas ia mengubah kisah ini menjadi kisahmu.

Caramu menatap rembulan malam itu, mengungatkanku akan sebuah jalinan yang telah lama pudar. Mungkin Tuhan tahu benar makna keberadaanku, pun aku: untuk membantumu menemukan bagian bongkahan-bongkahan masa lalu yang tanpa sengaja telah kau pecahkan. Agar kau dapat menapaki tangga itu dan bertemu rembulan.

Aku berjanji. Walau satu per satu kelopakku mengering lepas terenggut oleh ketiadaan, sebelum konstalasi orion menjadi segaris dengan Pecta, kita akan telah menemukan seluruh bongkahan itu dan menyusun tangga untuk menggapai dirinya. Agar kau dapat melayang dan bersanding kembali bersama rembulan, mengahalangi sinarnya yang indah agar bumi berada dalam bayaang-bayang temaram yang meninabobokan.

0 komentar:

Posting Komentar