Kamis, 20 September 2012

Tetesan Bintang : Sebuah Salam


Selamat malam bintang.

Apa kabar? Tampaknya kau semakin bersinar terang, bergumul bersama bintang lain, membentuk gugusan indah di samping Andromeda. Lama tak bersua, pun aku bercerita padamu.

Malam ini aku hanya menyampaikan sebuah salam, dari kekasihmu, Tetes.

Bintang, kau tahu? Tampaknya kekasih lamamu telah berada pada fase dimana ia perlahan-lahan dapat melepas ketiadaanmu di sisinya. Kini ia sedang mengudara, tinggi, hingga ke angkasa sana, mencapai awan. Di sana ia bersemayam dan bersiap dalam ritual pengorbanan dirinya untuk kehijauan planetnya.

Iya, melayang, seperti yang selalu diimpikannya selama ini. Namun setinggi apapun ia melayang, tak akan sanggup melampaui ataupun menggapai dirimu, Bintang. Sekuat apapun ia mentransformasikan partikel dirinya menjadi gumpalan H2O, tubuhnya tidak akan sanggup menerpa panas atmosfer ketiadaan yang menjadi pembatas kalian.

Ia mulai mengikhlaskanmu, Bintang. Seperti
harapanmu dulu. Walau memang, butuh berjuta tahun bagi dirinya untuk menyuling segala partikel itu dari dalam dirinya.

Perlahan, sesuai pesanmu, Ia sadar bahwa kini ia tidak akan mungkin dapat bersama lagi denganmu. Karena kini kalian berdua terpisah semakin jauh. Ia diangkasa sana, berkondensasi dengan tetes-tetes lain menunggu hingga takdir meniupkan awan hitam untuk membawanya turun kembali ke pangkuan bumi. Sedang kau, terus mengangkasa hingga hingga melampaui Andromeda, memancarkan kemilau petunjuk dan harapan bagi wajah yang menengadah. Hanya di laut, tempat dimana kalian berdua berasal, ia dapat bersama denganmu.
Terkadang ia merindukan aroma laut dimana ia berasal. Namun entah kapan siklus hidup akan membawanya kembali ke tempat itu. Ia pun tidak pernah tahu kemana takdir akan menitahkannya untuk turun, entah di belantara kering sahara atau di pusat kegelapan Amoazon. Terkadang, ia mengunjungi laut tempat dimana kalian berdua berasal, hanya dalam mimpinya.

Ia bercerita padaku.

Terkadang matanya enggan terbuka. Ia ingin memeluk mimpinya lebih lama. Tak peduli betapa banyak titah siklus hidup yang diembannya, ia mengurung dirinya dalam mimpi itu. Ia ingin sekali saja, dan untuk selamanya, kembali ke tempat dimana ia berasal. Kembali ke satu-satunya tempat dimana ia dapat berjumpa denganmu. Ia rindu laut itu, katanya.

Bintang, kapan kau kembali ke sana?

Tetes datang dan berkeluh kesah padaku. Terkadang partikel debu itu datang menghampirinya, membuat sekujur tubuhnya sakit menahan perih. Dan tanpa sadar partikel debu itu turut menusuk-nusuk kulit sanubarimu yang setipis membran semipermeabel. Tapi Tetes tak bernah bermaksud membagi partikel debu itu padamu. Hanya saja partikel debu itu terus mengikutinya mengangkasa, sama-sama tertarik oleh medan magnetmu. Tentu saja, ia telah berusaha menyingkirkannya, walau butuh berbulan-bulan untuk membuat parikel debu itu menyubil menjadi bongkahan partikel pembentuk pelangi. Tapi tetap saja, debudebu itu menempel semakin banyak, seiring dengan gravitasimu yang membengkak sebesar massa tubuhmu. Kau tahu itu kan, Bintang? Menurutku, itu bukan sepenuhnya kesalahan Tetes. Kau tahu itu kan?

Ah, sudahlah, itu hanyalah sepenggal kisah di masa lalu.

Kini, kita bertiga sama-sama telah berjalan melampaui waktu dan tiba pada saat ini. Walau selalu terasa sulit baginya, Tetes tidak akan pernah lagi mencoba membasahimu dengan rintik hujan yang ia buat. Aku yakin, dalam hatinya, selalu terngiang pesan-pesanmu, pesan untuk mengikhlaskanmu.

Bintang, hanya sebuah salam yang kusampaikan darinya. Sebuah salam sederhana, bukan salam penuh kecup mesra seperti salam-salam yang biasa disampaikan oleh dua insan yang dirundung cinta. Hanya sebuah salam sederhana yang dijalin dari temali rindu yang memerangkapnya.

Bintang. Semoga kau tetap bersinar di sana. Bersama yang lain, membentuk gugusan di samping Andromeda.

0 komentar:

Posting Komentar