Jumat, 21 September 2012

Mawar

Pernahkah kamu memperhatikan irama kehidupan di sekitarmu? pernahkah kau menghitung berapa frekuensi gabungan dari tarian hujan? Pernahkah kamu menghitung amplitudo gerakan dedaunan? pernahkah kamu memperhatikan kapan bunga-bunga di taman akan mekar? berapa kali? Akan jadi seperti apa?


Kali ini pandanganku terpaku pada sebuah mawar merah yang tumbuh di halaman rumahku. Ia menguncup dan perlahan mulai mekar. Padahal beberapa saat lalu, kulihat daun dan batangnya kering kerontang entah terkena apa.

"Hei, bukanlah ini belum saatnya bagimu untuk mekar?" tanyaku.
Makhluk cantik itu hanya terdiam sambil tersipu malu. "Bukankah kini kemarau masih melanda tempat ini?"

"Aku mendengar tapak hujan, kurasa ia sudah dekat." jawabnya kemudian. "Tak ada salahnya kan jika aku mekar, sembari berharap akan kedatangannya?"

"Kau mekar terlalu cepat, mawar. Lebih baik kau padamkan semua bara harapan yang ada dalam dirimu. Kau tahu, berharap akan sesuatu yang tak pasti itu pada akhirnya akan menyakiti dirimu sendiri? Kau tidak tahu bagaimana nelangsanya pasir dalam penantiannya akan kekasihnya, sang ombak. Kau memang masih sangat muda, mawar. Kau masih harus belajar banyak."

"Menurutku aku mekar di saat yang tepat. biarlah harapanku akan kedatangan hujan membawa embun segar bagi kelopak-kelopakku. Kalaupun hujan itu hanya sekadar lewat, kalaupun aku akan berakhir dengan penderitaan, aku sudah siap. Karena aku memang ditakdirkan untuk mekar, untuk menghiasi relung-relung hati yang kosong. Itu takdirku."


0 komentar:

Posting Komentar