Senin, 01 Agustus 2011

Sajadah dan Kolak: Ramadhan di Perantauan



Hidup tidak selalunya indah,
Langit tak selalu cerah,
Suram malam tak berbintang,
itulah lukisan alam,
Begitu aturan Tuhan..

(Hijaz, lukisan alam)

Bulan Ramadhan adalah bulan terindah, dimana Allah menebarkan rahmatnya ke seluruh penjuru dunia. Hal yang mubah menjadi sunnah, dan pahala bertebaran. Ribuan manusia mencapai fase alfa dalam sujud dan kesukuran. Ribuan manusia mencapai ketenangan batin, tidak ada lagi jati yang undah gulana karena urusan duniawi yang menyiksa, tidak ada lagi keputusasaan karena kegagalan fana, dan tidak ada lagi tawa maya yang menipu. Semuanya, semua orang, ada dalam fase peningkatan diri. (post tentang ramadhan )

Bagi ku, Ramadhan adalah bulan yang penuh kenangan. Dimana setiap pagi Ibu akan membangunkan untuk sahur

“Tiya, Hikma.. Bangun, sahur..”
Kemudian dengan sigap (seperti biasa) aku segera mencuci muka dan sahur. Sedang Hikma, adikku, perlu beberapa kali dibangunkan agar mau beranjak dari tempat tidur. Kemudian kami sekeluarga makan sahur bersama di meja makan dapur. Ibu selalu membuatkan susu putih untuk kami, dan aku selalu meminumnya. Padahal aku tidak pernah suka susu putih.

Kami jarang menyalakan televisi, karena perbicaraan antar anggota keluarga sudah cukup bagi kami untuk dijadikan penghibur. Lagi pula, kami tidak au menodai kemurnian pagi dengan radiasi televisi.

Setelah adzan subuh berkumandang, kami pergi ke masjid. Aku dan Hikma berjalan kaki, Bapak dan Ibu naik sepeda motor. Terkadang Bapak berangkat duluan karena harus menjadi imam, tapi memang Bapak selalu berangkat lebih awal. Sering Bapak mengajak kami untuk berangkat lebih awal, namun kemalasan kami berdua menghalanginya. Dan yang terakhir berangkat adalah ibu karena harus membereskan segalanya.

Setelah ceramah subuh usai, aku dan Hikma akan berlarian, berebut membonceng Bapak atau Ibu, tergantung mana yang lebih dulu kami temui.. karena gelapnya jalan yang kami lalui, terkadang kami salah menyetop motor. Orang lain yang lewat, kami kira Bapak atau Ibu.

Suara motor ibu sangat khas. Itulah penyebabnya. Kami tidak bisa melihat pengendara motor, tapi kami mendengar suara mesinnya. Sering benar, dan kadang salah. Jika salah pun, kami hanya tertawa...

Di sore hari aku membantu mengajar di TPA Al Furqon, atau bila aku malas, aku hanya di rumah saja. Membantu ibu menyiapkan masakan untuk berbuka. Ibu sering membuat kolak atau es dawet. Terkadang kami membuat sup buah, atau minuman lain kreasiku. Ibu juga selalu membuat camilan, mendoan, bakwan, tahu susur, martabak, ataupun piscok. Aku selalu suka masaan buatan ibuku, ada cinta dan ksih sayang di dalamnya.. (walaupun aku juga ikut buat :P)

Setelah berbuka dan makan camilan, kami sholat maghrib berjamaah dan setelah itu makan bersama.

Sebelum adzan isya, kami akan berangkat bersama-sama untuk tarawih di masjid. Aku selalu malas untuk membawa sajadah. Jadi ibu akan selalu membawakannya untukku, satu sajadah untuk kami berdua. Tak lupa pula ibu mengingatkanku untuk membawa uang infaq. Dan kemudian aku, hikma, dan dina akan berbalapan berangkat ke masjid. Terkadang kami bertengkar di jalan, hanya karena meributkan siapa yang paling tinggi diantara kami (karena kami tergolong pendek)

tetangga-tetangga sudah biasa melihat perdebatan kami. Terkadang mereka menyangka kami adalah anak kembar karena kemiripan wajah dan tinggi kami yang memang sama. Padahal, menurut kami berdua, kami sangat berbeda satu sama lain.

Sepulang sholat taraweh, kami pulang bersama. Terkadang kami menjahili satu sama lain. Aku dan Hikma ulang duluan, meninggalkan Dina, adik kami yang paling kecil pulang sendirian dan takut. Terkdang hikma dan Dina pulang menggunakan sepeda yang kugunakan untuk berangkat, meninggalkan aku berjalan kaki. Terkadang aku dan Dina yang meninggalkan hikma.

Namun Ramadhan kali ini berbeda...
Ramadhan ini adalah Ramadhan pertamaku di perantauan..
Tidak ada Ibu yang baik, tidak ada Bapak yang bijak,
Tidak ada Hikma yang nakal, dan tidak ada Dina yang manja..
Tidak ada bakwan dan mendoan buatan ibu, tidak ada kolak buatan ibu.
Tidak ada ibu dan bapak yang selalu membangunkanku tiap pagi..
Tidak ada berangkat ke masjid bersama-sama mereka..

**************************************

“kita mau berangkat jam berapa mbak?” tanyaku.

“adzannya jam 7..” jawab mbak Sri.

“tapi kan kita harus berjalan memutar. Jalannya kan baru diperbaiki..” sahut mbak Windy.

Setelah semua siap, kami berempat berangkat ke MBM (Masjid Baitul Maal). Aku mengunci pintu, dan mulai berjalan. Namun beberapa saat setelah kami berjalan, aku terkejut.

“Ah, aku lupa membawa sajadah!”. Dan dengan terburu-buru aku kembali ke kos dan mengambilnya... “Ibuku biasa membawakannya untukku...” kenangku dalam hati.

Di masjid, ketika kotak infaq diedarkan, aku pun tidak megisinya. Lupa membawa uang.. “biasanya ibu mengingatkanku untuk membawa”

Dan pagi hari ketika sahur, bunyi alarm lah yang membangunkanku. Menyiapkan sendiri makanan untuk sahur, dan lupa tidak membuat susu..

**************************

Mungkin ini memang berat bagiku. Hanya ada telepon yang dapat mengobati kernduan kami. Namun aku yakin, ini adalah sebuah proses pendewasaan. Aku tidak mungkin selamanya akan berada di sisi kedua orang tuaku. Aku tidak mungkin terus menerus selamanya menempel dan bergantung pada mereka.

Ada saatnya ketika aku dewasa dan harus meninggalkan mereka untuk pergi bersama keluargaku sendiri. Ada saatnya ketika aku harus menggantikan peran ibu untuk menyiapkan segalanya. Ada kalanya nanti, ketika aku harus menghadapi semua masalahku sendiri...

Perpisahan adalah proses pendewasaan. Kita tidak boleh terlalu berlarut-larut dalam kesedihan karena kenangan. Kenangan adalah sesuatu yang manis, yang membuatmu tersenyum bahagia ketika mengingatnya. Kenangan adalah sesuatu hal yang membuatmu menangis bahagia ketika mengenangnya...

0 komentar:

Posting Komentar