Rabu, 28 September 2011

Silence


Kakakku itu sangat pendiam. Aku lupa sejak kapan ia menjadi sependiam itu, aku tidak ingat. Dari semua teman-temanku, aku paling tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya.

***********

Hari itu hari kepulanganku dari ranah rantauku. Sepeti biasa aku lebih memilih naik kereta ekonomi bersama teman-teman se SMA ku dulu. Selain lebih murah, suasana kebersamaan yang kami dapat lebih kental dibanding menaiki angkutan umum yang lain. Selama 10 jam di dalam kereta kami mencoba memejamkan mata diantara bisingnya suasana kereta ekonomi.

“Pocari... Pocari... Aqua dingin, Aqua dingin, Mijon... Mijon... larutan-larutan...”
“Lontong tahu serebuan... Lontong tahunya, Mas..”
“Pop mie, Pop mie... Kopi panas, susu...”

Baru sejenak aku memejamkan mata, terdengar lagi suara-suara itu. Belum lagi penjual-penjual iseng yang mengatakan bahwa waktu sahur sudah dekat.

“Nasi ramesnya.. Nasi Ramesnya.. Persiapan sahur persiapan sahur!!!”

Padahal
jam tanganku masih menjunjukkan pukul 00.30. Ada- ada saja! Disertai punggung dan kaki yang pegal-pegal, kami berenam mencoba membuat posisi senyaman mungkin. Pada akhirnya kami tertidur, bangun, mengobrol, makan, tidur lagi, terbangun lagi, dan seterusnya. Hingga waktu menunjukkan pukul 4 dan kami makan sahur bersama.

Salah satu temanku kelaparan dan ingin membeli Pop Mie. Namun, tidak ada satu pun penjual yang lewat. “kemana mereka?” katanya. “Giliran waktunya sahur malah pada menghilang semua”

Kurang lebih, begitulah perjalanan kami...

***********

Seperti biasa, aku suka dijemput kakakku. Entah mengapa, aku tidak tahu. Toh, saat berangkat, pasti Bapak dan Ibu yang mengantarku. Jadi tidak salah jika saat pulang aku mau bersama kakak.

Seperti biasa, ia sangat hemat dalam berkata-kata. Begitu banyak hal yang ingin kuceritakan, namun semua itu menguap melihat ekspresinya yang dingin. Begitu banyak hal yang ingin kuungkapkan, namun semua itu menguap seiiring tanggapannya yang singkat.

“Yaa..”

“oohhh”

Aku jadi enggan untuk bercerita. Sungkan rasanya, membagi sesuatu yang membuatku gembira atau sedih, namun ia tidak ingin mendengarnya. Buat apa?

Kupikir perjalanan kami akan semenyenangkan perjalanan yang lalu. Dimana aku bercerita dan ia menanggapinya walaupun hanya sedikit. Namun kali ini tidak.

Aku bercerita. Berkomentar tentang bangunan-bangunan yang kami lalui. Namun ia hanya diam. Entah memang benar-benar tidak mendengarnya atau pura-pura tidak mendengar. Tapi aku yakin, angin pagi tidak sejahat itu sehingga membelokkan kata-kataku agar kakak tidak mendengarnya.

Ia diam.

Aku diam.

Aku ingin berkata-kata.

Namun pikiranku menolaknya.

“Tak usah kau bicara lagi, tidak ada gunanya. Ia tidak akan mendengarnya”

Dan pagi itu, disertai angin dingin yang menggigit, aku tenggelam dalam pemikiranku sendiri. Aku mengungkapkan apa yang kurasakan, apa yang kukagumi dari alam, apa yang ingin kuutarakan, pada diriku sendiri.
Aku sungguh benci kediaman ini. Kediaman adalah pertanda buruk. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding dua manusia yang bersama-sama, namun saling diam. Apalah esensi dari kebersamaan kalau kami berdua saling diam?


***********


Aku mencoba berkata-kata lagi. Namun hanya ada keheningan. Hanya ada suara angin yang menderu di telingaku. Mungkinkah angin yang telah menelan semua suaranya? Tidak. Angin tidak sejahat itu.

Aku mencoba berkata-kata lagi. Namun kali ini tidak ada suara yang keluar. Tenggorokanku seolah menahan pita suaraku untuk bergetar.

“Diamlah!” katannya.

Dan kesunyian kembali mendera. Aku sibuk berdialog dengan pikiranku, dan entah apa yang sedang kakakku pikirkan. Aku tidak ernah tahu. Tidak.

Kakakku sangat pendiam. Aku tahu. Ia juga mengakuinya.

Namun seingatku dulu ia tidak sependiam itu. Aku tidak tahu sejak kapan ia jadi begitu.

0 komentar:

Posting Komentar