Senin, 08 Oktober 2012

Kau dan Pintu Rumahmu


Waktu itu,
tanpa sengaja aku melintasi halaman rumahmu. Tak pernah kusangka sebelumnya, rumahmu secantik itu. Ada warna-warna yang membuatku seketika tersenyum begitu retinaku menangkap metafora itu. Ada ornamen-ornamen yang membuatku seketika terpaku begitu kuperhatikan detilnya. Dan ada kehangatan yang memancar, yang membuat pipiku merona begitu melintas. Rumahmu, sungguh, aku ingin memasukinya.

Tapi, waktu itu,
kau berdiri di sana, diantara aku dan rumahmu. Malu-malu mengintip dari balik pintu. Kau tahu aku berdiri di depanmu, antara gamang dan terpesona, menyimpan keingintahuan yang membuncah, akan dirimu, rumahmu. Namun kau tetap berdiri di sana, diam, enggan membukakan pintumu untukku. Dan sampai kapanpun tampaknya, pancaran niatku pun belum mampu meluluhkan hatimu untuk membukakan pintu itu. seketika aku tahu. Dulu, pernah ada seseorang yang pernah menjarah rumahmu dan memporak porandakannya hingga menyisakan retakan yang menganga. Hingga kini kelam masih menguasai hatimu, melahirkan perasaan posesif berlebih. Itukah, itukah alasan mengapa engkau enggan membukakan pintu rumahmu?

Lalu,
waktu itu,
perlahan kukerahkan semua warna yang ada dalam jiwaku, me-ji-ku-hi-bi-ni-u. Kubiarkan warna-warna itu mengudara, agar mereka dapat dengan mudah merayu dan menggodamu dengan keindahannya, agar kau luluh dan membukakan pintumu. Sedikit demi sedikit, kau pun membuka pintu itu sembari menyunggingkan senyummu, yang semua orang tau, teramat manis untuk dilupakan dan terlalu indah jika dimiliki sebatas kenangan.

Waktu itu,
Senyummu, senyumku.
Bola matamu, bola mataku.
Aku menatapmu, kau menatapku.
Aku menangkap senyummu, kau menangkap senyumku.
Ah, kau juga menangkap lompatan hatiku rupanya.

Waktu itu,
kita berdua sama-sama kehausan. Terlalu lelah bermain-main dengan percik bara yang meletup-letup dari sanubari. Lupa waktu, hingga tanpa sadar tenggorokan kita sama-sama meronta meminta sedikit kesegaran. Hei, sebentar. Aku mau membelikan es krim untukmu, untuk kita berdua, kataku kemudian. Kau pun mengangguk sembari tersenyum, seperti biasa, senyum terindah yang pernah kutemui.

Tetapi waktu itu,
ketika aku kembali, pintumu telah tertutup. Kenapa? Kenapa? Hanya ketidakpastian yang mampu menjawab beribu tanya yang menusuki kepalaku. Lantas aku bertanya padamu, mencoba melepaskan beribu anak panah yang tanpa sengaja kau tusukkan dengan ketidakpedulianmu.

"Sepertinya, lagi-lagi aku membukakan pintu untuk orang yang salah. Aku takut, jangan-jangan hanya aku yang merasakan euforia ini, sedang kau hanya seseorang yang kebetulan lewat dan terpesona oleh keindahan rumahku, lantas jika dahagamu telah usai kau akan pergi begitu saja. Tidak lagi, aku tidak mau merasakan sakit yang sama," katamu.

Ah, kau!

0 komentar:

Posting Komentar