Ini kisah cinta yang lain, yang tak sengaja tertabrak ketika
aku berlari tergesa-gesa, mengejar serpihan-serpihan mimpi. Ia terlihat lemah,
koyak, dan hampir patah. Dari sisa nafasnya ia bercerita, dari sorot matanya ia
menyenandungkan kisahnya.
Sang Pencinta yang kutemui ini adalah salah satu korban.
Korban candu cinta, yang manis di awal, dan sepah di akhir.
Di awal kisah,
sang Pencinta bertemu sang kepik yang soreitu
sedang terbang seorang diri. Memamerkan sayap-sayapnya yang kokoh nan tangguh.
Memamerkan warna-warni cantik di punggungnya. Menawarkan resonansi kehangatan
dalam setiap gelombang suaranya. Sang pencinta tahu, sang Kepik tidaklah sendiri lagi. Sang
Kepik telah mengahiri masa kesendiriannya dengan seorang, sekuntum bunga nun
jauh disana.
Namun Sang Pencinta tak pernah peduli. Memang kodratnya
sebagai pencinta untuk mencinta. Ia menambatkan jangkar dirinya pada Sang
Kepik, mempercayakan jangkarnya pada Sang Kepik. Kini bukan hanya dua, ia punya
tiga. Sang Kepik pun, tak kuasa menolak indahnya sinar mata Sang Pencinta. Yang
membiru, memancarkan kedamaian laut dalam. Tak kuasa merasakan pancaran hangat
dari pemberian sang Pencinta. Sang Pencinta tak peduli. Sang Kepik pun tak
peduli. Mereka tahu, tapi menolak untuk tahu.
Di kuantum yang sama, mereka berikrar.
Di kuantum yang sama, cinta menyapa mereka.
Di kuantum yang sama, mereka terbakar cinta.
Namun hanya kuantum. Kuantum hanyalah kuantum. Kuantum tak
lebih besar dari atom hidrogen, tak lebih besar dari molekul air. Mungkin
molekul cinta mereka melompat pada pada lapisan yang sama. Namun lompatan
kuantum tidak sestabil lompatan sang kiper, maupun lompatan si loreng. Ia seperti harga saham yang terus
berfluktuasi, seperti molekul-molekul atom yang senantiasa bergerak. Labil.
Cinta kuantum, tidaklah abadi.
Cinta kuantum, cinta mili sekon.
Kepik adalah kepik, terkadang ia harus terbang untuk
melunakkan sayapnya. Terkadang ia harus lepas landas untuk melemaskan ototnya
yang kaku. Ia terbang tinggi, melewati pucuk semak di padang rumput, melewati pucuk
pepohonan, melewati puncak gunung, dan hinggap beristirahat di awan. Bahagia
bagi Sang Kepik, ia bertemu bunganya yang tengah terlelap di pangkuan sang
awan. Naas bagi Cinta karena Kepiknya pergi.
Detik itu, sesuatu di dalam hatinya bergetar. Bergetar.
Bergetar. Sang Pencinta merasakan kehilangan yang mendalam. Kepiknya, tak
pernah kembali. Satu tahun. Dua tahun. Tiga. Empat. Lima. Ia menunggu Kepiknya.
Terdiam diantara nyanyian hutan, termenung diantara tarian ekosistem sabana.
Mencoba mengabaikan rasa gelisahnya, mengabaikan rasa takutnya.
Cinta kuantum, cinta tak pernah abadi.
Cinta kuantum, selalu bersisa sebelah.
Milisekon itu, ia tersadar. Kepiknya tak akan pernah kembali.
Sesuatu di lubuk hatinya membisikinya untuk mengucapapkan perpisaha. Lantas
disiapkannya senandung terindah yang disimpannya di dasar telaga, disiapkannya
suaranya termerdunya yang tersimpan rapi di balik embun pagi. Disiapkannya
setetes kabut yang terperngkap kaca sebagai kenang-kenangan. Disiapkannya
sayapnya yang terindah, yang berkilau gemerlapan terkena sinar matahari. Ia
siap untuk sebuah perpisahan. Kalaupun ini adalah perpisahan, maka ini adalah
perpisahan yang terbaik, pikirnya. Ia tidak akan menyesal. Ia bertemu Kepiknya
dengan cinta, maka ia harus berpisah pula dengan cinta.
Ia mulai mengaruhi padang bunga. Mengarungi padang ilalang.
Menapaki lembah. Mendaki puncak tertinggi.
Di puncak itu, sepersembian dari perjalanannya, ia bertemu
angin. Bukan angin yang suka memorak porandakan atmosfer ia adalah si angin pebawa
pesan.
“Hai sang pencinta, aku membawa pesan dari Kepik untukmu,”
Sang pencinta tersenyum. Senyum harap.
“wahai angin yang baik, apa katanya?”
“Sebaiknya kita berpisah detik ini,” jawab angin.
Sang Pencinta terjatuh. Melepaskan tubuhnya, merelakan
jasadnya diterbangkan, dan tercabik-cabik molekul udara. Lunglai, jiwanya telah
terserap habis hingga ke sari-sarinya.
“Tak pantaskah aku untuk bertemu dengan Mu sekali saja,
bahkan hanya untuk menyampaikan kata perpisahan?
Tak pantaskah?
Tak sudikah engkau menemuiku?
Aku ini juga bagian dari semestamu.”
Ia menutup matanya, dan merelakan tubuhnya berlayar bersama
pergerakan molekul udara.
Sang pencinta yang satu ini, terlalu lemah untuk bertahan.
Bahkan ketika aku mencoba meniupkan serbuk harapan dari tas kumal di
punggungku. Bahkan ketika aku mencoba menyuntikkan cairan kebahagiaan, langsung
menuju nadinya. Walaupun aku telah menyanyikan senandung-senandung terindah
dari dunia antah berantah. Jiwanya telah hilang.
Dan di samping padang ilalang, ia melebur. Melebur dan
beresonansi bersama hembusan angin.
0 komentar:
Posting Komentar