lagi-lagi aku tiba di penghujung sebuah pertemuan,
perpisahan.
Dan lagi-lagi aku harus berpisah dengan salah seorang dari
keluarga yang amat kusayangi. Entah mengapa harus ia, mengapa harus dari mereka.
Satu per satu secara perlahan namun pasti, anggota kami di sini mulai
berkurang. Dan lagi-lagi, aku tidak bisa mencegahnya.
Namun setidaknya perpisahan kami kali ini dihiasi dengan
senyum. Si pria-bocah tengil itu memutuskan untuk keluar dari tempat ini dengan
suka rela. Ia memang ingin pergi, dengan keputusannya sendiri. Bukan karena
indek prestasi yang pas-pasan atau melanggar segepok peraturan. Melepas seorang
yang kami sayangi, berat memang. Tapi itu jalan yang ia pilih.
Kuakui. Ia pemberani. Ia adalah seorang
ksatria.
Aku, kami semua menyayanginya.
Bocah. Itulah kesan awalku padanya. Dengan tubuhnya yang
gempal dan tidak terlalu tinggi, lagaknya yang bagai bocah puber, dan jam
tangannya yang berwarna ungu cerah. Benar-benar seperti bocah kelas enam SD.
Dalam ilusi yang tercipta di benakku, ia melopat kesana kemari bak kelinci.
Padahal ia hanya berjalan biasa, berjalan dengan riang dan tawa. Menghampiri
sahabatnya yang satu, menepuk punggunya, dan kemudian menghampiri yang lain,
menepuk lengannya, lalu tertawa.
“Gue suka sugar. Walaupun stres tugas dan kuliah, tetep aja
tiap hari bisa ketawa.” Tuturnya tadi. Membuatku melengos membandingkan kelasku
yang dulu dan sekarang.
Dengan santainya si pria bocah tengil itu menyapa dan
menepuk bahu kawannya. Dengan ringannya kata-kata “Kampret” ataupun “Njir”
terlontar dari mulutnya. “Woi kampret, gimana kabar lu?”.
Terdengar kasar memang. Tapi itulah panggilan sayang darinya. Itulah cara ia menunjukkan rasa kasihnya.
Frontal dan gegabah. Suatu kali ia pernah dilarang bermain 3
kali pertandingan dalam sebuah kompetisi futsal karena tingkahnya yang mudah
tersulut emosi. Dan kala itu aku baru memahami betapa besar rasa sayang si pria
bocah tengil pada rekan-rekan seperjuangannya. Dari luar tali pembatas, kami
berteriak-teriak. Tak peduli apakah yang kami teriakkan benar atau salah, tak
peduli apakah yang kami bela menang atau kalah.
Nyablak, itu kata orang tentang dia. Ciri khasnya yang lain.
Jika tidak suka ia akan mengatakan tidak. Tidak seperti kebanyakan yang
mengumpat busuk di belakang. Ia jujur dengan caranya.
Dibanding sosoknya, aku merasa sangat kerdil dan pengecut. Aku yang bersembunyi di balik nama orang tua, bertingkah seolah nyaman berada di kampus ini. Dan terus memaksa seolah tempat ini adalah padang rumput dengan ribuan ilalang dan kupu.
Malam ini kami kembali bersama. Di markas biru dimana kami
biasa bermain yakuza hingga ayam berkokok. Di teras sederhana dimana kami biasa
menghabiskan malam bersama. Bersama canda, tawa, dan suka. Terkadang galau tak
tahan melihat canda kami dan ia pun turut datang menerpa. Namun kami tidak
pernah menyangka kalau kami akan mengalami perpisahan untuk yang kedua kalinya.
Sedih. Koyak.Dulu dua, kini satu. Tinggal tiga puluh satu. Akanah sisanya menghilang satu per satu?
0 komentar:
Posting Komentar