Siapakah gerangan dirimu? Wahai Pujangga yang mampu membuat
gadis itu tersenyum lebar, menepis segala kerinduannya selama ini. Walau hanya
dengan perantara monitor dan keyboard yang akan mati tanpa elemen bernama
listrik. Siapakah dirimu, yang mampu menghapuskan tangis syahdunya di
malam-malam itu. Walau hanya dengan untaian kata yang tak kuasa kau ucapkan
langsung padanya. Aku tahu jika kau rela menukarkan segalanya agar mampu
bersua, bercakap-cakap langsung dengannya. Kau pasti rindu akan senyumnya yang
manis bukan? Juga rindu akan sorot matanya yang laksana hijau di belantara
Arizona. Meneduhkan.
Siapakah gerangan dirimu? Wahai yang mengaguminya tulus dari
lubuk sanubari. Ku rasa aku mengerti benih yang melahirkan kekagumanmu padanya.
Aku pun menyanjungnya layaknya engkau. Dalam artian dan cara yang berbeda,
mungkin.
Caranya memandang dunia, membuat aku
kagum bahkan sejak
pertama kali mata kamu bertemu pandang di rumah sempit itu. Caranya memandang dunia
dengan penuh optimisme yang tak dimiliki sebagian besar orang, caranya
memandang dunia dari balik kacamata positifnya, itu yang membuatku iri padanya.
Dan entah, terkadang malah membuatku benci padanya. Benci. Mungkin kau juga
membencinya, wahai Pujangga. Dengan cara yang berbeda tentunya. Kau benci
karena kau tak bisa bersua dengannya, dan terpaksa menghabisakan malam-malam
panjang hanya bersama deretan kata. Benarkah?
Aku memag bukan dia, wahai engkau yang membuatnya matanya
selalu berbinar. Aku memandang dunia dengan kacamata ciptaanku, kacamata
skeptis. Penuh kecurigaan dan segala buruk sangka, itulah aku. Mungkin sedikit
tercemari oleh profesi dan cita-citaku. Dalam setiap verifikasi fakta, mereka
mengajariku untuk selalu skeptis, tidak mudah percaya, dan selalu bertanya.
Skeptismeku tampaknya telah mendarah daging. Menjadikanku seseorang yang
berbalik 180 derajat dengan dirinya.
Seperti katanya waktu itu. Kau pasti juga membacanya,
Pujangga. “Kau hanya melihat mawar pada tangkainya tanpa melihat embun segar
pada kelopaknya,”. Ia selalu mengatakan kalimat itu padaku, selalu. Setelah aku
mulai menampakkan pesimisme pada dunia.
Itukah yang membuatmu ingin terikat padanya, wahai pujangga?
Itu juga yang membuatku kagum sekaligus iri padanya.
Tak takutkah engkau jika perasaanmu akan membuat ia menangis?
sama seperti malam-malam lalu, ketika aku memergokinya tersedu-sedu sendiri.
Membuatku, si skeptis ini, membatu karena seribu pertanyaan yang berkecamuk di
kepalaku. Diam, tak kuasa melakukan suatu apapun untuk membuatnya tersenyum
kembali. Hanya kau, Pujangga, yang mampu melahirkan serta mencabut senyuman itu
darinya. Tegakah engkau, jika karenamu ia kembali kehilangan senyumnya?
Aku harap kau orang baik yang mampu menjaga senyumnya hingga
ke nirwana kelak.
Mungkin kau dan ia bertanya-tanya seperti apakah kisahku.
Jangan.
Jangan pernah
menanyakan hal itu.
Kisahku terlalu pelik untuk diingat. Bahkan aku pun sudah
menyerah untuk menulisakan kisahku. Aku lebih suka disini, megamati perputaran
kisah kalian berdua. Diam, dan dalam keheningan mengagumi kalian.
0 komentar:
Posting Komentar