Memerintahkan orang skeptis-argumentatif untuk diam itu seperti megusir semut dari gula. Hanya bekerja beberapa saat, sebelum akhirnya ia kembali.
Ituah yang terjadi padaku. Aku ini tidak bisa diam ketika
ada sesuatu yang mengusik pikiranku. Agaknya sesuatu dalam kepalaku ini saling
berargumen di luar kendali. Akhirnya
mulutku, atau tanganku tak kuasa untuk menahannya, dan menyampaikannya dengan gamblang.
Aku tak bisa begitu saja pura-pura cuek pada suatu permasalahan dan
membiarkannya. Memang yang kulakukan bukanlah hal yang memberi kontribusi nyata,
tapi aku melakukan upaya yang bisa kulakukan, yakni dengan memberikan argumen.
Isu kenaikan BBM misalnya, walaupun berakting seolah tidak
peduli, di kelas secara diam-diam aku menganalisa dampak negatif dan positifnya.
Mengumpamakan seolah diriku ada di posisi orang yang pro kenaikan dan juga
memposisikan diriku seolah aku adalah orang yang kontra akan kenaikan BBM. Dan
ketika tanpa disangka salah satu dosen memerintahkan kami untuk berargumen
seolah-olah kami tidak pro kenaikan BBM, itu mudah saja bagiku. (Walaupun
mayoritas temen-temen yang lain setuju dengan kenaikan karena, mungkin, memang
telah terdoktrin berada di pihak pemerintah)
Tentang akreditasi
instansi pendidikan yang diwajibkan sebelum 16 Mei 2012 misalnya. Sesaat
setelah dosenku mengatakannya, aku memikirkannya. Walaupun saat itu yang
kukatakan adalah “nggak usah dipikirin pusing-pusing. Ini kan bukan urusan kita.”.
Namun tidak bisa dipungkiri, aku memikirkannya. Bukan memikirkan bagaimana
kelanjutan studiku atau nasibku nanti setelah lulus, tapi memikirkan bagaimana
status kampusku. Hanya sebatas rasa ingin tahu. Kalaupun saat itu bisa, aku
pasti akan langsung bertanya pada dosenku “bagaimana dengan status kampus kita
pak?”. Dan untungnya aku tidak perlu menanyakannya karena beliau juga tidak
tahu. Beliau menyarakan untuk membuka situs dikti, dan itulah yang kulakukan.
Tapi nihil.
Mungkin kebanyakan pembaca akan percaya begitu saja ketika
di pintu ATM terdapat tulisan “rusak” atau “uang habis”. Tapi tidak denganku.
Sering, sering sekali aku tetap bersikukuh masuk ke dalam ATM dan
membuktikannya sendiri. Dan tak jarang aku menemukan bahwa tulisan itu menipu,
walaupun terkadang benar juga. Mingu lalu contohnya, aku mengabaikan tulisan
“rusak” pada sebuah pintu ATM, dan ternyata setelah mencoba aku bisa mengambil
uang seperti biasanya.
Sebenarnya inti cerita ini adalah mengenai permasalahan
makrab kelasku. Makrab ini
sudah direcanakan sejak akhir semester 1, dan rencananya akan diadakan pada minggu ke dua semester 3. Namun karena berbagai kendala akhirnya diundur hingga setelah UTS. Aku tidak perlu menceritakan bagaimana kekurangsigapan si ketua yang mengulur-ulur waktu booking, panitia yang kurang komunikasi, ataupun individu-individu yang masih bersikukuh dengan egonya masing-masing. Aku termasuk panitia, dan aku mengakui bahwa kami pun sebagai panitia tidak begitu tahu apa job deskripsi kami. Aku merasa, bahwa semua hal cenderung direncanakan, diputuskan, dilaksanakan, dan dikendalikan oleh korlak. Bagus sih memang, tapi aku merasa bahwa tidak ada kepercayaan untuk kami. Toh, buat apa mereka membentuk kami jika akhirnya semua dilakukan oleh mereka.
sudah direcanakan sejak akhir semester 1, dan rencananya akan diadakan pada minggu ke dua semester 3. Namun karena berbagai kendala akhirnya diundur hingga setelah UTS. Aku tidak perlu menceritakan bagaimana kekurangsigapan si ketua yang mengulur-ulur waktu booking, panitia yang kurang komunikasi, ataupun individu-individu yang masih bersikukuh dengan egonya masing-masing. Aku termasuk panitia, dan aku mengakui bahwa kami pun sebagai panitia tidak begitu tahu apa job deskripsi kami. Aku merasa, bahwa semua hal cenderung direncanakan, diputuskan, dilaksanakan, dan dikendalikan oleh korlak. Bagus sih memang, tapi aku merasa bahwa tidak ada kepercayaan untuk kami. Toh, buat apa mereka membentuk kami jika akhirnya semua dilakukan oleh mereka.
Dan puncaknya adalah tadi malam. Ketika aku membuka grup
kelas, salah seorang teman sekelas protes terhadap pilihan villa yang ada.
Spontan aku bereaksi, tanpa pikir dua kali. Dan diskusi pun berlangsung
panjang, hingga akhirnya aku ikut menyindir mereka yang hanya menjadi “silent
reader” ataupun liker. Aku tahu setiap orang mempunyai pendapat, yang membedakan adalah mereka yang tetap menyimpannya rapat-rapat atau mengutarakannya. Mungkin karena merasa tidak punya cukup wewenang, atau
takut akan terjadi pertengkaran lebih lanjut. Tapi inilah aku, tetap maju terus
dan mengatakan fakta sebenarnya yang kuetahui.
Seperti kata @tricn , Setiap orang memang memiliki style
yang berbeda dalam menghadapi masalah. Tapi aku setuju dengan tweet @onlyipin
yang mengataka bahwa likers seolah-olah hanya bersembunyi dibalik kata-kata
orang lain, tanpa berani menyatakan pendapat mereka. Dan aku pun mengapresiasi
@aryasaniputu yang berani mengungkapkan pendapatnya walaupun sebenarnya
pendapat itu kurang memihak pada panitia. setiap pendapat yang ada, baik memihak atau
tidak, bertujuan untuk membangun agar kedepannya menjadi lebih baik. Dan untuk mereka yang mementingkan wewenang daripada esensi diskusi untuk
pemecahan masalah, aku merasa bahwa tindakan tersebut adalah suatu bentuk
ketidakksatriaan. Berani hanya jika memiliki wewenang. Ini hanyalah sebuah kelas,
kita semua sama. jika terlalu memusingkan jabatan hanya akan menimbulkan
perpecahan. Mengapa tidak menyelesaikannya secara bersama-sama?
Kritikan kadang terasa menghancurkan pada awalnya, namun ia membangun di kemudian hari. Berbeda dengan pujian yang tampak manis awalnya, namun melemahkan di kemudian hari
Dan akhirnya, 2 jam kuhabiskan untuk berkonferensi via
telepon bersama @HelmyNurman, @RizzAnggravita, dan Pras. Kami berdiskusi
mengenai pemecahan masalah ini. Dan aku cukup kagum dengan tindak lanjut dari
@HelmyNurman yang terkesan tidak sembrono seperti biasanya. Ia mulai bisa
bersikap lebih dewasa. *Walaupun ketika di telepon berkali-kali ia mencetuskan
untuk karauke padahal pembicaraan sedang serius.* Jadilah malam itu, di saat
penghuni kos yang lain tidur terlelap, aku malah berdiskusi panjang lebar
dengan mereka. “Kijang 1 ganti, Kijang 2 masuk” itulah kode nama percakapan
kami, seolah-olah memakai HT.
Dan hari ini, sepertinya rencana yang telah didiskusikan
semalaman tidak terlaksana. Entah apa yang membuat Pras ragu untuk menjalankan
rencananya. Karena semalam kami memutuskan agar pras maju dulu, kemudian
dlanjutkan oleh @HelmyNurman.
Dan selama diskusi itu, berkali-kali aku merasa tersindir
oleh Pras.
“Saya aja nggak berani komentar soalnya saya merasa nggak
berwenang. Kamu malah nyolot komentar kayak gitu. Yang lain itu pada mbaca
lho..”
“Lhoh, kan aku komentar kayak gitu biar semua orang yang
mbaca ikut menyumbangkan idenya. Siapa tahu ada ide yang bagus dan bisa
menyelesaikan masalah”
“Lhoh, dia itu tanya kenapa udah terlanjur dibooking yang
itu? bukan diskusi pemecahan”
Yah kira-kira begitulah.
Dan seketika itu aku sadar, aku
terlalu frontal dalam berkomentar. Bahkan sampai ikut mnyindir mereka yang hanya
menjadi silent reader. Sesaat setelah diberi tahu Pras, aku mulai menahan diriku untuk tidak
melanjutkan komentar-komentar di dalam grup. Namun tetap saja, tadi pagi, hal
yang sama kembali terulang. @aryasaniputu menanyakan beberapa pertanyaan yang tak
kunjung dijawab oleh pihak panitia. Karena aku tahu, walaupun aku tidak
berwenang, kulontarkan saja fakta-fakta yang kuketahui.
Oke well, mungkin aku terlalu ceplas ceplos dan kurang
memikirkan resiko yang akan terjadi. Tapi setiap komentar yang kuutarakan sudah
kupikir baik-baik agar tidak memojokkan pihak tertentu.
Tampaknya terlalu banyak masalah yang terjadi tahun ini,
khususnya semalam. @desianalia yang tampak kesal di twitter karena disangka
sebagai admin @secondary2011. @OnlyIpin yang secara gamblang menyatakan
ketidaksukaannya pada likers, @aryasaniputu yang tiba-tiba mengutarakan ketidaksetujuannya
terhadap pilihan villa, dan aku yang secara frontal mengutarakan apa yang ada
di kepalaku. Dan terakhir pras yang tiba-tiba menelepon di tengah malam karena
komentar-komentarku. Hahah
Well, kelas kami memang penuh warna :)
Kuharap makrab kelas kami berjalan lancar Dan mereka yang
tidak akrab karena suatu hal menjadi akrab kembali. :)
0 komentar:
Posting Komentar