Senin, 10 Oktober 2011

My New Home


Saat berjalan melewati persimpangan di dekat lapangan itu, aku masih saja sering salah melangkah. Kakiku salah menuntun ku berbelok ke arah barat, sepertinya ada sesuatu dalam kepalaku yang mengendalikan kakiku untuk berbelok ke sana, ke arah kosku yang lama. Namun dalam sekejap instingku menyadarinya, aku melangkah ke arah yang salah. Dan segera kubelokkan langkah kakiku dengan gontai.


Aku masih menyayangi rumahku yang lama.




Berat bagiku maupun bagi teman-temanku untuk meninggalkan rumah itu. Rumah dimana kami tinggal bersama, bernaung, dan menghabiskan waktu bersama di ranah perantauan yang kurang ramah ini. Sebuah rumah mungil dua lantai dengan 2 kamar permanen dan 1 kamar tambahan. Kecil memang, namun terasa amat nyaman untuk ditinggali. Walaupun terkadang agak berantakan karena ulah si Nenek (kucing hitam yang sering bermain ke rumah kami. Bermain sampah.) namun kami membuatnya senyaman mungkin.

******

Awal kedatanganku ke rumah itu, semuanya tampak mengerikan. Ya, mengerikan. Lantai yang kotor oleh air yang mengering sisa-sisa hujan semasa liburan, barang-barang yang berserakan, dan dapur kotor dengan ribuan barang usang. Mengerikan. Namun itu bukan suatu halangan bagi kami untuk tinggal di rumah itu dengan nyaman.

Ayahku masuk ke dalam rumah itu dan seketika ia pusing. Nenekku melihat keadaan di ruang keluarga, dan seketika ia seolah meremehkan “apa ada orang yang mau tinggal di tempat seperti ini?”. Ibuku masuk dan terkejut, ia tidak bisa berkata apa-apa.

Rumah itu kecil tapi manis, hanya perlu sedikit polesan untuk menghilangkan kesan mengerikan itu. Segera kami membereskan rumah itu, tempat pertama yang kami tuju adalah dapur. Kami mencuci perabot-perabot kotor yang parahnyan berisi benda yang sudah membusuk, kami memilah-milah mana yang masih bisa dipakai dan mana yang tidak, kami meletakkan peralatan yang masih sering di pakai pada rak, kami memasukkan barang yang tidak di pakai ke dalam kabinet, kami membersihkan lantai dan dinding dapur yang penuh noda membandel, kami membersihkan wastafel yang kumuh dan kotor. Dan akhirnya, semua menjadi berkuilau. Persis seperti dapur sebuah rumah mungil yang nyaman.

Namun itu baru satu bagian saja, masih banyak bagian yang lain. Kami membersihkan kulkas yang penuh dengan barang-barang berbau tidak sedap. Kami membersihkan ruang keluarga yang penuh dengan buku-buku dan barang-barang tidak terpakai. Kami membersihkan ruang cuci yang penuh dengan bungkus detergen kosong. Kami membersihkan kamar mandi yang penuh botol shampo, bungkus pasta gigi, sikat gigi yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan, sabun batangan yang mengering, dan bungkus shampo saset, yang entah sudah berapa tahun berada di sana. Kami membersihkan tangga yang penuh dengan debu tebal menahun pada bagian pagarnya. kami membersihkan kamar kami masing-masing. Kami membersihkan teras dengan rak sepatu yang penuh sesak dengan sepatu-sepatu peninggalan kakak tingkat kami, yang entah sudah berapa tahun.

Dan akhirnya, semua menjadi lebih nyaman. Dari waktu ke waktu, seiring dengan berkurangnya jumlah barang-barang tidak terpakai di rumah kami, keadaan menjadi lebih nyaman dan lapang. Benar-benar rumah mungil yang menyenangkan. Atap yang bocor pun sudah diperbaiki, dan kami tidak perlu repot-repot mengambil ember, mengelap lantai, atau mengeringkan lantai dengan kipas angin lagi setiap hujan usai turun.

Ruangan favorit kami adalah ruang tengah atau yang biasa disebut dengan ruang keluarga. Kami biasa berkumpul disana, bercerita, bersenda gurau, makan bersama sambil menonton televisi, belajar bersama (dengan televisi yang masih menyala), atau bahkan hanya sekedar berbaring dan berguling-guling tidak jelas.

Ada pertemuan dan ada perpisahan.

Sepertinya keputusan menteri keuangan untuk tidak menerima mahasiswa D3 tahun ini membawa perubahan yang besar bagi kami semua. Organisasi-organisasi ribut dan bingung membicarakan kaderisasi, banyak kos yang mendadak kosong, dan suasana terasa lebih lengang, sepi. Tidak ada gegap gempita penyambutan mahasiswa baru, atau setidaknya, belum. Tidak ada wajah-wajah baru yang polos, yang membutuhkan bimbingan dan petunjuk, atau setidaknya, belum. Ada sesuatu yang kosong dan kurang dalam kehidupan kami sekarang.

Kekosongan itulah yang menyebabkan kami harus pindah ke rumah lain. Kekosongan itulah yang menyebabkan ibu kos memutuskan hal itu, kami harus pindah dengan segera agar nilai guna bangunan tidak terbuang sia-sia.

Dan apa yang akan terjadi kelak? Bagaimana nantinya kehidupan kami di rumah baru ini?

Aku belum tahu.


Yang jelas, keterbatasan tidak akan membuat kami menyerah begitu saja.
Keterbatasan membuat kami lebih kreatif dalam menghadapi segalanya.
Keterbatasan bukan untuk disesali, namun untuk diusahakan jalan keluarnya.




0 komentar:

Posting Komentar