Selasa, 03 April 2012

Telapak Tangan


“Ibu, ini natriumnya”. Kata pria itu sambil tersenyum dengan ramah. Senyumnya, cara ia tersenyum, pembawaannya yang tenang dan santun mengingatkanku pada sosok Pak Udin. Ia adalah guruku, guru terbaikku, atau begitulah pemikiranku saat itu.

******

“Pak, boleh tidur ya?” tanyaku dengan lugas.
Innocent dan polos. Kala itu aku tidak pernah  memikirkan konsekuensi atas apa yang aku ucapkan atau apa yang aku perbuat. Aku juga tidak pernah takut pada apapun selama aku merasa bahwa aku benar. Tak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiranku bahwa beliau akan marah karena permintaanku yang aneh. Pelajaran masih berlangsung dan teman-teman masih sibuk mengerjakan soal Matematika.
“Kenapa?” tanyanya dengan sabar. Ia tahu dengan benar bagaimana cara menghadapi siswa SD. Siswa SD adalah anak-anak yang sedang dalam masa pembentukan karakter, jika ditempa dengan cara yang salah maka kelak akan menjadi tongkat bengkok. “sudah selesai?” tambahnya lagi.
“Sudah dari tadi, Pak. Teman-teman lama” jawabku dengan malas. Berusaha jujur namun tetap saja terdengar agak besar kepala bagi orang lain. Kala itu, memang selalu seperti itu. Entah aku yang terlalu cepat, atau teman-temanku yang terlalu lama.
“Ya ditunggu sampai mereka selesai lalu kita koreksi bersama-sama” jawabnya, masih sambil tersenyum. Ia menyarankan sebuah solusi yang tidak pernah aku sukai. Aku dengan pemikiranku yang masih dangkal, adalah anak yang paling benci tanpa melakukan apapun.
“Kan lebih baik tidur, Pak. Daripada melakukan hal yang tidak berguna”
ungkapku lagi. Aku tidak tau darimana aku yang masih muda itu mendapat keberanian, ketangkasan untuk mengungkapkan hal seperti itu pada orang dewasa.

Guruku yang cerdas itu terdiam sesaat.
“Iya deh,” katanya..
“Nanti kalau teman-teman uddah selesai, bangunin ya, Pak. Saya gampang bangun kok” kataku lagi, sambil cengengesan.
Hampir setiap pelajaran Matematika berlangsung seperti itu. Aku selesai, dan tidur. Kemudian jika teman-teman yang lain selesai, Pak Udin akan membangunkanku. Entah mengapa ia mengizikanku melakukannya. Memang waktu itu sekolahku adalah sebuah sekolah dengan sistem full day school dimana kami belajar dari pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore. Melelahkan memang. Mungkin aku sering kelelahan sehingga mengantuk. Tidak ada waktu untuk tidur siang, namun aku sering mencuri waktu untuk itu. Padahal tidak ada satu pun teman-temanku yang melakukannya.
Aku berbeda. Aku aneh. Aku suka mencari celah dari aturan yang ada dan melanggarnya.

“Pak Udin, Pak Udin”
“Mengapa dolar Amerika yang paling sering dijadikan alat tukar internasional?” tanyaku pada Pak Udin, sesaat setelah kami mendapat pelajaran tentang negara-negara dan mata uangnya. “Mengapa nilai dolar tinggi? Apakah karena nilainya tinggi maka ia dijadikan alat tukar internasional? Bukankah kalau begitu kasian negara yang lebih miskin?” todongku dengan segudang pertanyaan.
“bukanah ada yang nilainya lebih besar dibanding dolar?” tanyaku lagi. Pemahamanku yang belum seberapa tentang perdagangan internasional membawaku pada pemahaman yang kurang tepat, bahwa yang dijadikan alat tukar adalah mata uang dengan nilai yang terbesar.
Entah bagaimana aku tidak ingat apa jawaban pak udin waktu itu. Aku tidak ingat, tidak peduli, atau enggan memasukkan jawaban itu ke kepalaku.

“Pak Udin, Pak Udin” panggiku lagi. Beliau menoleh dan tersenyum, seperti biasa. “Ya?” jawabnya.
“Apa maksud garis-garis di tangan ini?” tanyaku.
“Tahu tidak? Ini adalah tanda dari Allah. Jika angka di kedia tangamu di jumlahkan, jumlahnya adalah 99.”
“Jumlah Asmaul Husna!” seruku
“Yap! Dan mereka yang memiliki garis tangan dengan jumlah 99 akan masuk surga.”
“berarti semua orang akan masuk surga dong. Kan semua sama?”
“siapa bilang sama” ujarnya. “beda kok”

Rasa skeptisku membawaku untuk membuktikan sendiri. Kulihat telapak tanganku.
“lihat, angka 8 arab pada tanganmu terputus! Garis di tangan Pak Udin tersambung. Itu artinya Pak Udin orang baik dan akan masuk surga”
“Berarti aku bukan orang baik dan nggak masuk surga, Pak?” tanyaku.

Ia hanya terdiam dan tersenyum simpul. Tanpa jawaban. Aku terus mendesaknya, bahkan esoknya, esoknya, dan keesokan harinya. Lalu aku mulai meilhat telapak tangan teman-temanku. Mereka yang menurutku baik memiliki angka 8 yang sempurna, tidak seperti telapakku. Guru-guruku yang baik juga memilik garis tangan yang sempurna, 99!

“Berarti aku bukan orang baik dan nggak masuk surga, Pak?” tanyaku.
Dan pria itu tetap terdiam, hanya tersenyum simpul. Menyimpan sejuta misteri yang menghantui malam-malamku, hingga saat ini..

*bersambung

0 komentar:

Posting Komentar