Minggu, 30 Maret 2014

Mengagumi-Dikagumi


Sebut saja namanya Mona. Ia adalah salah seorang kawan semasa olimpiade dulu, kawan seperjuangan dan kawan berbagi ruang di Puri Artha dulu. Meski lebih muda, kawan yang satu ini amat sangat berprestasi. Entah berapa piala dan medali yang telah ia gondol, entah berapa kejuaraan yang ia menangkan.

Ia langganan mengikuti olimpiade sains tingkat nasional, bukan hanya sekadar ikut meramaikan seperti saya, ia langganan menyabet medali. Ia juga pernah mendapat hadiah sebuah perjalanan ke negara tetangga sana karena memenangkan kompetisi karya tulis ilmiah. Cantik, tinggi, percaya diri, dan yang terpenting ia pintar, atau bahkan cerdas.

Entah cerdas atau pintar, saya tak tahu. Karena sampai saat ini, hanya sedikit orang saya labeli dengan predikat cerdas. Sedikit saja, namun banyak di antaranya adalah anak ‘ndugal’ yang kerap diomeli para guru kesiswaan.

Si kawan saya ini akan melangsungkan pernikahan, yang katanya dihelat Mei depan. Saya ikut gembira mendengarnya *dan bertanya-tanya kapan giliran saya :p*

Terkadang saya berpikir.

Si kawan saya ini seolah begitu sempurna, begitu berprestasi, dan dilihat dari segi fisik, ia bisa dibilang rupawan. Mungkin putri Indonesia sekali pun tak akan sanggup menandingi si kawan ini ketika mereka dihadapkan pada pertanyaan yang sama. (Tapi jelas si kawan saya ini tidak akan ikut ajang semacam puteri atau miss Indonesia karena ia memegang teguh aturan agamanya)

Sedangkan di sisi lain, banyak orang yang tidak dianugerahi kesempurnaan macam dia. Terlahir dengan penampilan biasa saja, dengan isi kepala pas-pasan, dan tanpa bakat (atau sebenarnya hanya belum menemukan saja).

Mengapa tuhan menciptakan perbedaan semacam itu? Bsnyak orang bilang, “Tuhan terkadang tidak adil” atau “takdir memang kejam”. Mungkinkah saya akan membenarkan pernyataan itu?

Saya rasa tidak. Tuhan Maha Adil. Ia menciptakan segala perbedaan, agar tercipta rasa mengagumi-dikagumi. Saya mengagumi ia, ia dikagumi saya. Dia mungkin juga mengagumi seseorang, entah siapa. Dan mungkin saja, ada seseorang, entah siapa, yang mengagumi saya.

Bukan tak mungkin, lho, seseorang yang serba hebat atau serba wah, justru mengagumi kehidupan orang lain yang serba biasa.

Si A mengagumi si B karena ia mendulang kesuksesan dalam usaha, hidup bergelimang harta, memiliki pasangan cantik nan rupawan, dan anak-anak yang selalu membanggakan. Tapi entah mengapa, si B justru mengagumi A yang selalu bahagia meski hidup sederhana, selalu “legowo”, selalu mensyukuri apa yang diberikan tuhan.

Tuhan benar-benar maha adil. Syukuri saja apa yang ia beri :)

0 komentar:

Posting Komentar