Kamis, 31 Mei 2012

Kisah yang lain: Cinta Kuantum


Ini kisah cinta yang lain, yang tak sengaja tertabrak ketika aku berlari tergesa-gesa, mengejar serpihan-serpihan mimpi. Ia terlihat lemah, koyak, dan hampir patah. Dari sisa nafasnya ia bercerita, dari sorot matanya ia menyenandungkan kisahnya.

Sang Pencinta yang kutemui ini adalah salah satu korban. Korban candu cinta, yang manis di awal, dan sepah di akhir.

Di awal kisah,
sang Pencinta bertemu sang kepik yang soreitu sedang terbang seorang diri. Memamerkan sayap-sayapnya yang kokoh nan tangguh. Memamerkan warna-warni cantik di punggungnya. Menawarkan resonansi kehangatan dalam setiap gelombang suaranya. Sang pencinta  tahu, sang Kepik tidaklah sendiri lagi. Sang Kepik telah mengahiri masa kesendiriannya dengan seorang, sekuntum bunga nun jauh disana.

Namun Sang Pencinta tak pernah peduli. Memang kodratnya sebagai pencinta untuk mencinta. Ia menambatkan jangkar dirinya pada Sang Kepik, mempercayakan jangkarnya pada Sang Kepik. Kini bukan hanya dua, ia punya tiga. Sang Kepik pun, tak kuasa menolak indahnya sinar mata Sang Pencinta. Yang membiru, memancarkan kedamaian laut dalam. Tak kuasa merasakan pancaran hangat dari pemberian sang Pencinta. Sang Pencinta tak peduli. Sang Kepik pun tak peduli. Mereka tahu, tapi menolak untuk tahu.

Di kuantum yang sama, mereka berikrar.
Di kuantum yang sama, cinta menyapa mereka.
Di kuantum yang sama, mereka terbakar cinta.

Namun hanya kuantum. Kuantum hanyalah kuantum. Kuantum tak lebih besar dari atom hidrogen, tak lebih besar dari molekul air. Mungkin molekul cinta mereka melompat pada pada lapisan yang sama. Namun lompatan kuantum tidak sestabil lompatan sang kiper, maupun lompatan si loreng.  Ia seperti harga saham yang terus berfluktuasi, seperti molekul-molekul atom yang senantiasa bergerak. Labil.

Cinta kuantum, tidaklah abadi.
Cinta kuantum, cinta mili sekon.

Kepik adalah kepik, terkadang ia harus terbang untuk melunakkan sayapnya. Terkadang ia harus lepas landas untuk melemaskan ototnya yang kaku. Ia terbang tinggi, melewati pucuk semak di padang rumput, melewati pucuk pepohonan, melewati puncak gunung, dan hinggap beristirahat di awan. Bahagia bagi Sang Kepik, ia bertemu bunganya yang tengah terlelap di pangkuan sang awan. Naas bagi Cinta karena Kepiknya pergi.

Detik itu, sesuatu di dalam hatinya bergetar. Bergetar. Bergetar. Sang Pencinta merasakan kehilangan yang mendalam. Kepiknya, tak pernah kembali. Satu tahun. Dua tahun. Tiga. Empat. Lima. Ia menunggu Kepiknya. Terdiam diantara nyanyian hutan, termenung diantara tarian ekosistem sabana. Mencoba mengabaikan rasa gelisahnya, mengabaikan rasa takutnya.

Cinta kuantum, cinta tak pernah abadi.
Cinta kuantum, selalu bersisa sebelah.

Milisekon itu, ia tersadar. Kepiknya tak akan pernah kembali. Sesuatu di lubuk hatinya membisikinya untuk mengucapapkan perpisaha. Lantas disiapkannya senandung terindah yang disimpannya di dasar telaga, disiapkannya suaranya termerdunya yang tersimpan rapi di balik embun pagi. Disiapkannya setetes kabut yang terperngkap kaca sebagai kenang-kenangan. Disiapkannya sayapnya yang terindah, yang berkilau gemerlapan terkena sinar matahari. Ia siap untuk sebuah perpisahan. Kalaupun ini adalah perpisahan, maka ini adalah perpisahan yang terbaik, pikirnya. Ia tidak akan menyesal. Ia bertemu Kepiknya dengan cinta, maka ia harus berpisah pula dengan cinta.

Ia mulai mengaruhi padang bunga. Mengarungi padang ilalang. Menapaki lembah. Mendaki puncak tertinggi.
Di puncak itu, sepersembian dari perjalanannya, ia bertemu angin. Bukan angin yang suka memorak porandakan atmosfer ia adalah si angin pebawa pesan.

“Hai sang pencinta, aku membawa pesan dari Kepik untukmu,”

Sang pencinta tersenyum. Senyum harap.

“wahai angin yang baik, apa katanya?

Sebaiknya kita berpisah detik ini,” jawab angin.

Sang Pencinta terjatuh. Melepaskan tubuhnya, merelakan jasadnya diterbangkan, dan tercabik-cabik molekul udara. Lunglai, jiwanya telah terserap habis hingga ke sari-sarinya.

“Tak pantaskah aku untuk bertemu dengan Mu sekali saja, bahkan hanya untuk menyampaikan kata perpisahan?
Tak pantaskah?
Tak sudikah engkau menemuiku?
Aku ini juga bagian dari semestamu.”

Ia menutup matanya, dan merelakan tubuhnya berlayar bersama pergerakan molekul udara.

Sang pencinta yang satu ini, terlalu lemah untuk bertahan. Bahkan ketika aku mencoba meniupkan serbuk harapan dari tas kumal di punggungku. Bahkan ketika aku mencoba menyuntikkan cairan kebahagiaan, langsung menuju nadinya. Walaupun aku telah menyanyikan senandung-senandung terindah dari dunia antah berantah. Jiwanya telah hilang.

Dan di samping padang ilalang, ia melebur. Melebur dan beresonansi bersama hembusan angin.

0 komentar:

Posting Komentar