Selasa, 01 Mei 2012

Tragedi Semalam


Memerintahkan orang skeptis-argumentatif untuk diam itu seperti megusir semut dari gula. Hanya bekerja beberapa saat, sebelum akhirnya ia kembali.

Ituah yang terjadi padaku. Aku ini tidak bisa diam ketika ada sesuatu yang mengusik pikiranku. Agaknya sesuatu dalam kepalaku ini saling berargumen di luar kendali. Akhirnya  mulutku, atau tanganku tak kuasa untuk menahannya, dan menyampaikannya dengan gamblang. Aku tak bisa begitu saja pura-pura cuek pada suatu permasalahan dan membiarkannya. Memang yang kulakukan bukanlah hal yang memberi kontribusi nyata, tapi aku melakukan upaya yang bisa kulakukan, yakni  dengan memberikan argumen.

Isu kenaikan BBM misalnya, walaupun berakting seolah tidak peduli, di kelas secara diam-diam aku menganalisa dampak negatif dan positifnya. Mengumpamakan seolah diriku ada di posisi orang yang pro kenaikan dan juga memposisikan diriku seolah aku adalah orang yang kontra akan kenaikan BBM. Dan ketika tanpa disangka salah satu dosen memerintahkan kami untuk berargumen seolah-olah kami tidak pro kenaikan BBM, itu mudah saja bagiku. (Walaupun mayoritas temen-temen yang lain setuju dengan kenaikan karena, mungkin, memang telah terdoktrin berada di pihak pemerintah)

Tentang akreditasi instansi pendidikan yang diwajibkan sebelum 16 Mei 2012 misalnya. Sesaat setelah dosenku mengatakannya, aku memikirkannya. Walaupun saat itu yang kukatakan adalah “nggak usah dipikirin pusing-pusing. Ini kan bukan urusan kita.”. Namun tidak bisa dipungkiri, aku memikirkannya. Bukan memikirkan bagaimana kelanjutan studiku atau nasibku nanti setelah lulus, tapi memikirkan bagaimana status kampusku. Hanya sebatas rasa ingin tahu. Kalaupun saat itu bisa, aku pasti akan langsung bertanya pada dosenku “bagaimana dengan status kampus kita pak?”. Dan untungnya aku tidak perlu menanyakannya karena beliau juga tidak tahu. Beliau menyarakan untuk membuka situs dikti, dan itulah yang kulakukan. Tapi nihil.

Mungkin kebanyakan pembaca akan percaya begitu saja ketika di pintu ATM terdapat tulisan “rusak” atau “uang habis”. Tapi tidak denganku. Sering, sering sekali aku tetap bersikukuh masuk ke dalam ATM dan membuktikannya sendiri. Dan tak jarang aku menemukan bahwa tulisan itu menipu, walaupun terkadang benar juga. Mingu lalu contohnya, aku mengabaikan tulisan “rusak” pada sebuah pintu ATM, dan ternyata setelah mencoba aku bisa mengambil uang seperti biasanya.

Sebenarnya inti cerita ini adalah mengenai permasalahan makrab kelasku. Makrab ini
sudah direcanakan sejak akhir semester 1, dan rencananya akan diadakan pada minggu ke dua semester 3. Namun karena berbagai kendala akhirnya diundur hingga setelah UTS. Aku tidak perlu menceritakan bagaimana kekurangsigapan si ketua yang mengulur-ulur waktu booking, panitia yang kurang komunikasi, ataupun individu-individu yang masih bersikukuh dengan egonya masing-masing. Aku termasuk panitia, dan aku mengakui bahwa kami pun sebagai panitia tidak begitu tahu apa job deskripsi kami. Aku merasa, bahwa semua hal cenderung direncanakan, diputuskan, dilaksanakan, dan dikendalikan oleh korlak. Bagus sih memang, tapi aku merasa bahwa tidak ada kepercayaan untuk kami. Toh, buat apa mereka membentuk kami jika akhirnya semua dilakukan oleh mereka.

Dan puncaknya adalah tadi malam. Ketika aku membuka grup kelas, salah seorang teman sekelas protes terhadap pilihan villa yang ada. Spontan aku bereaksi, tanpa pikir dua kali. Dan diskusi pun berlangsung panjang, hingga akhirnya aku ikut menyindir mereka yang hanya menjadi “silent reader” ataupun liker. Aku tahu setiap orang mempunyai pendapat, yang membedakan adalah mereka yang tetap menyimpannya rapat-rapat atau mengutarakannya. Mungkin karena merasa tidak punya cukup wewenang, atau takut akan terjadi pertengkaran lebih lanjut. Tapi inilah aku, tetap maju terus dan mengatakan fakta sebenarnya yang kuetahui.

Seperti kata @tricn , Setiap orang memang memiliki style yang berbeda dalam menghadapi masalah. Tapi aku setuju dengan tweet @onlyipin yang mengataka bahwa likers seolah-olah hanya bersembunyi dibalik kata-kata orang lain, tanpa berani menyatakan pendapat mereka. Dan aku pun mengapresiasi @aryasaniputu yang berani mengungkapkan pendapatnya walaupun sebenarnya pendapat itu kurang memihak pada panitia. setiap pendapat yang ada, baik memihak atau tidak, bertujuan untuk membangun agar kedepannya menjadi lebih baik. Dan untuk mereka yang mementingkan wewenang daripada esensi diskusi untuk pemecahan masalah, aku merasa bahwa tindakan tersebut adalah suatu bentuk ketidakksatriaan. Berani hanya jika memiliki wewenang. Ini hanyalah sebuah kelas, kita semua sama. jika terlalu memusingkan jabatan hanya akan menimbulkan perpecahan. Mengapa tidak menyelesaikannya secara bersama-sama?

Kritikan kadang terasa menghancurkan pada awalnya, namun ia membangun di kemudian hari. Berbeda dengan pujian yang tampak manis awalnya, namun melemahkan di kemudian hari

Dan akhirnya, 2 jam kuhabiskan untuk berkonferensi via telepon bersama @HelmyNurman, @RizzAnggravita, dan Pras. Kami berdiskusi mengenai pemecahan masalah ini. Dan aku cukup kagum dengan tindak lanjut dari @HelmyNurman yang terkesan tidak sembrono seperti biasanya. Ia mulai bisa bersikap lebih dewasa. *Walaupun ketika di telepon berkali-kali ia mencetuskan untuk karauke padahal pembicaraan sedang serius.* Jadilah malam itu, di saat penghuni kos yang lain tidur terlelap, aku malah berdiskusi panjang lebar dengan mereka. “Kijang 1 ganti, Kijang 2 masuk” itulah kode nama percakapan kami, seolah-olah memakai HT.

Dan hari ini, sepertinya rencana yang telah didiskusikan semalaman tidak terlaksana. Entah apa yang membuat Pras ragu untuk menjalankan rencananya. Karena semalam kami memutuskan agar pras maju dulu, kemudian dlanjutkan oleh @HelmyNurman.

Dan selama diskusi itu, berkali-kali aku merasa tersindir oleh Pras.

“Saya aja nggak berani komentar soalnya saya merasa nggak berwenang. Kamu malah nyolot komentar kayak gitu. Yang lain itu pada mbaca lho..”

“Lhoh, kan aku komentar kayak gitu biar semua orang yang mbaca ikut menyumbangkan idenya. Siapa tahu ada ide yang bagus dan bisa menyelesaikan masalah”

“Lhoh, dia itu tanya kenapa udah terlanjur dibooking yang itu? bukan diskusi pemecahan”

Yah kira-kira begitulah. 

Dan seketika itu aku sadar, aku terlalu frontal dalam berkomentar. Bahkan sampai ikut mnyindir mereka yang hanya menjadi silent reader. Sesaat setelah diberi tahu Pras, aku mulai menahan diriku untuk tidak melanjutkan komentar-komentar di dalam grup. Namun tetap saja, tadi pagi, hal yang sama kembali terulang. @aryasaniputu menanyakan beberapa pertanyaan yang tak kunjung dijawab oleh pihak panitia. Karena aku tahu, walaupun aku tidak berwenang, kulontarkan saja fakta-fakta yang kuketahui.

Oke well, mungkin aku terlalu ceplas ceplos dan kurang memikirkan resiko yang akan terjadi. Tapi setiap komentar yang kuutarakan sudah kupikir baik-baik agar tidak memojokkan pihak tertentu.

Tampaknya terlalu banyak masalah yang terjadi tahun ini, khususnya semalam. @desianalia yang tampak kesal di twitter karena disangka sebagai admin @secondary2011. @OnlyIpin yang secara gamblang menyatakan ketidaksukaannya pada likers, @aryasaniputu yang tiba-tiba mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap pilihan villa, dan aku yang secara frontal mengutarakan apa yang ada di kepalaku. Dan terakhir pras yang tiba-tiba menelepon di tengah malam karena komentar-komentarku. Hahah

Well, kelas kami memang penuh warna :)
Kuharap makrab kelas kami berjalan lancar Dan mereka yang tidak akrab karena suatu hal menjadi akrab kembali.  :)

0 komentar:

Posting Komentar