Jumat, 04 Mei 2012

Mengejar Progesteron


“kamu besok nggak pulang juga?” tanya si gadis modis. Ceria seperti biasa.

“Iya,” jawab gadis yang diajaknya. lugas. Kata-katanya sederhana, seperti penampilanya yang juga sederhana.

“Yaudah ikut kita aja,”

“Ngapain?”  

“Les make up dan kecantikan” jawab si gadis modis. Masih sambil tersenyum

“Eegh...,” si gadis sederhana yang berpenampilan cuek itu memanglingkan muka. “Aku nggak mau kalo les kecantikan” jawabnya sembari memasang muka masam yang dibuat-buat.

Si gadis modis menampakkan ekspresi sedih

“Gitu yaa...” gadis lain di samping gadis pertama, yang juga tak kalah modis ikut bereaksi. Memasang wajah masam yang juga dibuat-buat

“Aku maunya mbolang,” tutur si gadis cuek itu pada akhirnya. Penuh semangat, senyum tersugging di bibirnya. Ia tetap memasang wajah ceria berlebih, tanpa sadar bahwa sedari tadi, dosen telah hadir di ruangan. Dan mungkin saja ia mendengar semua percakapan itu.

****

Mungkin kalian akan bertanya siapa si gadis modis, dan siapa pula gadis modis yang satunya. Tapi kalau si gadis cuek yang memilih mbolang daripada beajar kecantikan, seluruh dunia pasti sudah tau. Itu
aku. fyi, Si gadis modis satu, itu @rizzanggravita sedang si gadis modis 2 itu  adalah @putu_aryasani

Sesaat aku tersadar. Berapa lama aku telah menginjak, meminta sari kehidupan dari bumi ini? Berapa lama aku telah menghirup udara kebebasan dari atmosfer yang selalu bersahabat? Sudah sangat lama kurasa. Tapi berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk bertingkah seperti wanita lainnya?

Mungkin kini sudah saatnya aku manjalani kodratku sebagai wanita, makhluk progesteron. Maksudku, bukan berarti selama ini aku hidup sebagai laki-laki atau seperti mereka yang terperangkap dalam gender yang tidak sesuai dengan jiwa. Tidak, aku masih menjalani hidupku seperti perempuan pada umumnya. Mengerjakan pekerjaan rumahan, juga berangkat kuliah memakai rok. Kadang pergi belanja dan memasak bersama teman se kos. Juga tertarik pada lawan lelaki.

Maksudku..

Polesan itu. Polesan yang menghiasi rupa-rupa teman wanitaku, yang membuat mereka tampak berkilau. Polesan yang membuat mereka percaya diri. Polesan yang membuat mereka tampak seperti boneka berbie. Kalau ini anime, pasti ada backsound “cling cling” setiap mereka muncul. Sedang aku? Bahkan dulu aku berencana memakai sepeda gunung jika kampusku tidak mewajibkan untuk mengenakan rok.

“ayo beli, murah lo” kata salah seorang temanku


“beli apa? Kalau buku aku mau”

“bukan. Lipgloss. 25 ribu aja. Murah kaan?”


Jleb. Sejenak aku mematung. Terkahir kali ibu membelikanku ligloss, entah berapa tahun yang lalu, kupakai sekali, dan tak pernah kusentuh lagi. Sampai sekarang. Bukannya tidak mau cantik, tapi benda itu rasanya tidak enak. Aku dan @santi_s_ pernah mendiskusikan hal ini. Memakainya seperti mengoles lemak dari kuah bakso yang telah mendingin ke bibir. 

Oke, mungkin nggak separah itu. Kami Cuma lebay. Tapi sumpah, rasanya tetap saja aneh.


Baru beberapa minggu lalu ketika entah bagaimana aku tanpa sengaja terseret teman-temanku untuk belajar memakai make up. Dan baru saat itu aku bisa membedakan yang mana maskara, yang mana eyeliner, yang mana eyeshadow. Oh iya, juga blush on. Ups, sepertinya aku masih bingung, maskara itu yang untuk kelopak mata atau untuk mempertebal bulu mata? -_- 
Bahkan mungkin @tricn lebih fasih dalam hal seperti ini dibanding aku. Memalukan.


Pernah merasakan wajah dimake up yang tebalnya setebal dempul? Aku pernah. Rasanya? Jangan tanya. Saat ini, cukup bedak dulu. Mungkin yang lain sidah lebih jauh, tapi biar saja aku dengan bedakku. Jangan pisahkan ikatan diantara kami dengan kehadiran yang lain. *apasih*

Jangankan make up. Sampai sekrang aku masih mengenakan tas punggung untuk kuliah. Pernah sekali aku pergi berjalan-jalan bersama ibuku. Agar tampak feminim (dan ibuku senang), aku memakai tas cewek. Dan akhirnya jalan-jalan itu berakhir naas dengan sebelah punggung yang pegal-pegal.  Tas cewek itu nggak ergonomis sama sekali, nggak ramah di punggung -_- Menyakiiitkaaan meeeen


Seperti kata syahrini ketika diwawancarai di sebuah acara infotainment, “beautiful is pain”. Walaupun tidak terlalu suka pada syahrini, aku mengakui bahwa pernyataannya yang satu itu benar. Maksudku, kenapa sih para wanita mau bersusah payah, bersakit-sakit, dan berboros-boros agar bisa tampil “feminim”? Aku tidak mengatakan agar tampil cantik. Karena bahkan tanpa berdandan pun seseorang bisa tampak cantik. Aku juga tidak mengatakan agar tampail menarik karena setiap orang punya daya tariknya sendiri, tidak harus berdanadan.

Oke. Untuk menarik perhatian lawan jenis misalnya. Kebanyakan wanita berdandan dan tampil feminim untuk menarik lawan jenis. Seperti kata berbagai survei yang mengatakan bahwa lelaki dominan pada indra penglihatannya. Karena itu para wanita berlomba-lomba untuk tampil semenarik mungkin untuk menarik mereka. Hanya demi itukah? Maksudku, haruskah semua itu? Berdandan, membatasi makan, mengenakan segala aksesoris wanita yang ribet, atau makan dengan amat sangat perlahan? Nyamankah?

Sepertinya aku belum rela menukar seluruh kenyamananku dengan makhluk yang bernama laki-laki.

“yakali kamu besok mau ke kantor polosan gitu. Latihan dandan dong”
Apa salahnya

“Sudah saatnya kamu mencoba menjadi wanita”
Kita disebut Wanita kan nggak Cuma dari dandanan.

“masak kamu nggak mau tampil cantik untuk suamimu. Seenggaknya latihan dandan buat suamimu”
Nah itu kamu dandan buat semua cowok

Maksudku, kadang aku juga bertanya-tanya. Dengan mukaku yang nggak pernah dipoles dan tingkah lakuku yang pecicilan, akanlah ada cowok yang tertarik? Pasti mereka langsung ilfil begitu melihat aku yang bisa kayang, lari kesana kemari, lompat disana dan disini. *Tapi, anehnya ada gitu*. Dan aku yakin, mereka adalah orang-orang baik yang melihat perempuan tidak hanya dari penampilan.

Kalau mencari pasangan, carilah yang melihatmu apa adanya. Bukan yang hanya melihat dari penampilan saja. Karena mereka bukan tipe yang akan meningalkanmu ketika kamu sudah tua renta dan penuh keriput.

Oke. Ini baru masalah dandan-mendandan. Belum lagi perihal tingakahku yang kayak cacing kepanasan, loncat sana loncat sini. Kayang disana, lari kesini. Kalau masalah yang ini, aku juga merasa kalau aku perlu berubah. Berkali-kaliaku menekankan diriku sendiri untuk bertingkah kalem. Namun agaknya itu masih agak sulit. Dengan energi yang berlebih dan tubuh yang ringan, aku merasa sangat mudah berlarian dan melompat kesana kemari. Maksudku, “kalau kamu bisa melompat,kenapa enggak?” Mereka yang bergerak degan lamban kan karena emang nggak bisa bergerak gesit.

Ini semakin ngelantur. Dan sepertinya pemikiranku semakin salah. Mungkin aku perlu mengurangi makanku sampai aku lemas dan nggak bisa berlarian atau lompat-lompat dimanapun. Paling tidak, lemes itu dekat dengan feminim.

Dan hari ini aku lembali tersentil. Juga kemaren dan kemarennya, oleh si @igunbudi.

“Kalau mau pindah kos, pindah ke kos eva aja.. siapa tau kalau disana situ bisa jadi bener”

Oke. Saran yang bagus.

“di Al Quran ada ayat tentang orang pecicilan nggak sih?” tanya si @igunbudi pada @khafifaefa
“ng.. “ su teteh bingung

“Ada kan. Bunyinya sayangilah orang-orang yang pecicilan” jawabku seenak dengkul.

“Kayak jaman dulu gitu. Barang siapa yang pecicilan maka akan kejatoan batu,”
Jleb.

Oke, aku nggak mau pecicilan lagi. Aku nggak mau kejatuhan batu dari langit.

0 komentar:

Posting Komentar