Kamis, 03 Mei 2012

Perpisahan si Pria-Bocah Tengil


lagi-lagi aku tiba di penghujung sebuah pertemuan, perpisahan.

Dan lagi-lagi aku harus berpisah dengan salah seorang dari keluarga yang amat kusayangi. Entah mengapa harus ia, mengapa harus dari mereka. Satu per satu secara perlahan namun pasti, anggota kami di sini mulai berkurang. Dan lagi-lagi, aku tidak bisa mencegahnya.
Namun setidaknya perpisahan kami kali ini dihiasi dengan senyum. Si pria-bocah tengil itu memutuskan untuk keluar dari tempat ini dengan suka rela. Ia memang ingin pergi, dengan keputusannya sendiri. Bukan karena indek prestasi yang pas-pasan atau melanggar segepok peraturan. Melepas seorang yang kami sayangi, berat memang. Tapi itu jalan yang ia pilih.

Kuakui. Ia pemberani. Ia adalah seorang
ksatria.


Aku, kami semua menyayanginya.

Bocah. Itulah kesan awalku padanya. Dengan tubuhnya yang gempal dan tidak terlalu tinggi, lagaknya yang bagai bocah puber, dan jam tangannya yang berwarna ungu cerah. Benar-benar seperti bocah kelas enam SD. Dalam ilusi yang tercipta di benakku, ia melopat kesana kemari bak kelinci. Padahal ia hanya berjalan biasa, berjalan dengan riang dan tawa. Menghampiri sahabatnya yang satu, menepuk punggunya, dan kemudian menghampiri yang lain, menepuk lengannya, lalu tertawa.

“Gue suka sugar. Walaupun stres tugas dan kuliah, tetep aja tiap hari bisa ketawa.” Tuturnya tadi. Membuatku melengos membandingkan kelasku yang dulu dan sekarang.
Dengan santainya si pria bocah tengil itu menyapa dan menepuk bahu kawannya. Dengan ringannya kata-kata “Kampret” ataupun “Njir” terlontar dari mulutnya. “Woi kampret, gimana kabar lu?”.

Terdengar kasar memang. Tapi itulah panggilan sayang darinya. Itulah cara ia menunjukkan rasa kasihnya.

Frontal dan gegabah. Suatu kali ia pernah dilarang bermain 3 kali pertandingan dalam sebuah kompetisi futsal karena tingkahnya yang mudah tersulut emosi. Dan kala itu aku baru memahami betapa besar rasa sayang si pria bocah tengil pada rekan-rekan seperjuangannya. Dari luar tali pembatas, kami berteriak-teriak. Tak peduli apakah yang kami teriakkan benar atau salah, tak peduli apakah yang kami bela menang atau kalah.

Dengan sabar ia juga menjelaskan padaku yang tak tahu apa-apa mengenai peraturan permainan itu. Dengan caranya, ia menjawab semua pertanyaan-pertanyaan bodohku. “itu tadi pelanggaran, kok bisa sih?” “Kenapa wasitnya bisa ngga liat, jelas banget kan?” Sebelumnya, aku tidak pernah tertarik menonton olah raga itu. Namun dunia berubah mulai saat itu. Bersama teriakan, hentakan, dan perjuangan teman-teman sekelasku.

Nyablak, itu kata orang tentang dia. Ciri khasnya yang lain. Jika tidak suka ia akan mengatakan tidak. Tidak seperti kebanyakan yang mengumpat busuk di belakang. Ia jujur dengan caranya.

Dibanding sosoknya, aku merasa sangat kerdil dan pengecut. Aku yang bersembunyi di balik nama orang tua, bertingkah seolah nyaman berada di kampus ini. Dan terus memaksa seolah tempat ini adalah padang rumput dengan ribuan ilalang dan kupu.

Malam ini kami kembali bersama. Di markas biru dimana kami biasa bermain yakuza hingga ayam berkokok. Di teras sederhana dimana kami biasa menghabiskan malam bersama. Bersama canda, tawa, dan suka. Terkadang galau tak tahan melihat canda kami dan ia pun turut datang menerpa. Namun kami tidak pernah menyangka kalau kami akan mengalami perpisahan untuk yang kedua kalinya.

Sedih. Koyak.
Dulu dua, kini satu. Tinggal tiga puluh satu. Akanah sisanya menghilang satu per satu?

0 komentar:

Posting Komentar